Mahfud MD dan Mantan Teroris Bicarakan Keberagaman dan Toleransi di FISIP

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
PROF. Dr. Mohammad Mahfud MD, SH., SU., saat memeberikan paparan dalam Seminar Nasional di Aula Soetandyo, Gedung C di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga pada Rabu (24/10). (Foto: Feri Fenoria)
PROF. Dr. Mohammad Mahfud MD, SH., SU., saat memeberikan paparan dalam Seminar Nasional di Aula Soetandyo, Gedung C di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga pada Rabu (24/10). (Foto: Feri Fenoria)

UNAIR NEWS – Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, SH., SU., dihadirkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga dalam Seminar Nasional di Aula Soetandyo, Gedung C FISIP pada Rabu (24/10). Mahfud MD menjadi pembicara kunci dalam seminar bertema ”Menghadapi Keberagaman Indonesia dengan Toleransi” bersama dengan Ali Fauzi Manzi, pegiat toleransi sekaligus mantan teroris Indonesia. Diskusi tersebut dimoderatori Fahrul Muzaqqi, S.IP., M.IP., salash seorang dosen FISIP.

Wakil Dekan I FISIP Prof. Dr. Budi Prasetyo Drs., M.Si., menyebut seminar tersebut sangat penting. Mengingat, perguruan tinggi, termasuk UNAIR, kerap disebut sebagai tempat tumbuh suburnya paham radikal. Khususnya atas serentetan kejadian bom bunuh diri yang terjadi beberapa waktu lalu di Surabaya.

”Ini sangat penting bagi mahasiswa untuk memberikan gambaran analisis berbeda atas paham radikal dan nilai-nilai toleransi serta keberagaman yang dimiliki Indonesia,” katanya.

”Mahasiswa mesti bisa mengambil pelajaran yang langsung diaplikasikan dalam kehidupan, terutama soal nilai-nilai Pancasila,” imbuhnya.

Sementara itu, Mahfud MD menyampaikan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia didasari semangat kegotongroyongan. Perbedaan atau keanekaragaman, kata Mahfud, tidak perlu dipermasalahkan serta dibesar-besarkan hingga menjadi problem.Sebab, keanekaragaman merupakan fitrah. Manusia, lanjut Mahfud, lahir dalam perbedaan.

”Sebab, perbedaan itu adalah ciptaan Tuhan,” ujarnya.

“Kamu jangan berperang dengan di antara kamu karena perbedaan,” pesannya.

Menurut Mahfud, atas fitrah keberbedaan itu, di antara setiap orang, terutama elemen bangsa, harus ditemukan satu kesamaan agar manusia satu dengan yang lain mampu membangun kemajuan. Di Indonesia, kesepakatan atau kesamaan satu itu telah terwujud dalam ideologi yang bernama Pancasila.

“Kalau ranah pribadi, perbedaan itu menjadi hak masing-masing,” sebutnya.

“Namun, untuk hal di luar atau public, ini harus sama sesuai dengan kesepakatan bersama,” tambahnya.

Mahfud menjelaskan, toleransi menjadi sebuah keharusan bagi kita sebagai bangsa yang beragam untuk dapat mewujudkan kemajuan. Di antara kita, mesti terbangun sikap satu tujuan dan langkah meski berbeda.

Selain itu, tidak ada pemberlakuan hak berdasar minoritas dan mayoritas dalam HAM. Dan, perbedaan harus diolah dengan demokrasi permusyawaratan.

”Namun, terkait dengan itu (keberagaman dan toleransi, Red), saat ini kita menghadapi beberapa tantangan,” sebutnya.

Tantangan tersebut, menurut Mahfud, berupa tantangan demokrasi dan integrasi. Yakni, gejolak perdebatan antara demokrasi sebagai kebebasan dan integrasi sebagai respons atas fitrah bangsa Indonesia yang beragam.

”Selain itu, tantangan soal masifikasi informasi teknologi digital dan serangan ide-ide budaya luar. Perang proksi (infiltrasi dan pemecahbelahan). Serta, korupsi dan ketidakadilan,” katanya.

Pada akhir, Mahfud menyebutkan bahwa intoleran itu sangat berbahaya seperti yang disampaikan Ali Fauzi yang pernah menjadi seorang intoleran, teroris. Ada kecenderungan keinginan seseorang intoleran untuk membunuh.

”Karena itu, saya kira, tugas kita ke depan juga sebagai bangsa, bagaimana agar membangun kesadaran bertoleransi ini, bertoleransi dalam perbedaan. Karena, perbedaan itu adalah keniscayaan bagi setiap bangsa,” ungkapnya.

”Perbedaan agama, perbedaan suku, perbedaan ras, perbedaan aspirasi politik. Itu keniscayaan,” imbuhnya.

Menurut Mahfud, demokrasi menjadi kunci mewadahi perbedaan itu. Bukan teror. Bukan tindakan-tindakan kekerasan.

Terorisme

Sejalan dengan pernyataan Mahfud, Ali mengakui bahwa sikap intoleran itu sangat berbahaya. Sikap itulah yang dipupuk dalam pikiran seorang teroris. Akibatnya, kenekatan dan ras kemanusiaan tersebut menjadi hilang sehingga memacu tindakan-tindakan terorisme.

Menurut Ali, tindakan teroris antara dulu (2000-2010) dan sekarang (2010-2018) sangat berbeda. Dulu gerakan aksi teroris berafiliasi dengan gerakan Al-Qaedah. Mereka menggelar aksi dengan bom mobil dan bom rompi. Dan, orientasi yang diserang adalah simbol-simbol barat.

”Kalau yang sekarang berbeda. Gerakannya berafiliasi dengan ISIS. Yang disasar adalah polisi, pejabat negara, bahkan presiden. Konsepnya takfir am, semua yang bukan kelompoknya dianggap kafir,” sebutnya.

ALI Fauzi Manzi, pegiat toleransi saat memeberikan gambaran tentang terorisme di Indonesia. (Foto: Feri Fenoria)
ALI Fauzi Manzi, pegiat toleransi saat memeberikan gambaran tentang terorisme di Indonesia. (Foto: Feri Fenoria)

Ali menambahkan, teroris bukan hasil dari hal instan. Teroris melewati proses panjang dan bertahap. Karena itu, diperlukan keterlibatan dari berbagai elemen untuk bisa menekan pergerakan paham-paham intoleran tersebut.

”Akar terorisme tidaklah tunggal, bahkan saling berkaitan. Karena itu, cara penangananya juga harus tidak tunggal. Melalui banyak aspek, perspektif, dan metodologi,” tuturnya. (*)

 

Penulis: Feri Fenoria

 

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).