PENYAKIT campak di dunia ini bersifat endemik. Di semua negara di dunia ini, tahun 2013 terjadi 145.700 kematian yang disebabkan oleh campak. Artinya setiap hari terdapat 400 kematian, atau 16 kematian setiap jam pada sebagian besar anak dibawah usia 5 tahun (balita).
Berdasarkan laporan Dirjen PP&PL Kemenkes RI tahun 2014, masih banyak kasus campak di Indonesia dengan jumlah kasus yang dilaporkan mencapai 12.222 kejadian. Frekuensi KLB (kasus luar biasa) terdapat 173 kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak itu menyerang anak-anak usia pra-sekolah dan usia SD.
Selama periode empat tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun (3591 kasus) dan pada kelompok umur 1-4 tahun (3383 kasus). Di Indonesia, Rubella merupakah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan upaya pencegahan efektif.
Data surveilans selama lima tahun terakhir menunjukan 70% kasus rubella terjadi pada kelompok usia <15 tahun. Selain itu, berdasarkan studi tentang estimasi beban penyakit CRS di Indonesia, tahun 2013 diperkirakan terdapat 2.767 kasus CRS, dan 82/100.000 terjadi pada usia ibu 15-19 tahun, lalu menurun menjadi 47/100.000 pada usia ibu 40-44 tahun.
Selain itu, seorang dari 10 bayi yang menderita penyakit campak akan mendapatkan komplikasi infeksi telinga tengah (Otitis Media). Penyebab gangguan pendengaran atau tuli bawaan dan menetap. Satu orang dari 20 bayi yang menderita penyakit campak akan mendapatkan komplikasi pneumonia (radang paru paru), sebagai satu penyebab utama kematian bayi yang baru lahir.
Kemudian satu orang dari 1000 bayi yang menderita penyakit campak akan mendapatkan komplikasi infeksi otak atau ensefalitis (terjadi kejang, cacat pendengaran dan keterbelakangan mental). Kemudian satu atau dua bayi akan meninggal dari 1000 bayi yang menderita penyakit campak di negara berkembang, dimana malnutrisi dan kekurangan vitamain A kerap terjadi, maka penyakit campak berperan menyebabkan kematian satu dari empat anak yang menderita penyakit campak.
Selain itu campak juga menjadi penyakit utama penyebab kebutaan permanen pada anak anak di negara-negara berkembang. Dampak secara ekonomi pun sangat besar akibat infeksi campak dan rubella. Di AS misalnya, pada 12 (saja) kasus campak yang dilaporkan tahun 2008 di negara bagian Kalifornia, biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat mencapai 125.000 USD.
Pada tahun yang sama di negara bagian Arizona, 14 kasus yang dilaporkan memakan biaya 800.000 USD. Sedangkan di Indonesia, Badan Litbang Kesehatan Kemenkes tahun 2015 memperkirakan kerugian makro-ekonomi sebesar 1,09 triliun akibat sindrom rubella kongenital.
Berdasarkan pengkajian biaya disability-adjusted life year (DALY), yaitu estimasi kerugian berupa kehilangan hari-hari potensial untuk bekerja dalam hitungan tahun akibat penyakit campak dan rubella, antara yang mendapatkan imunisasi MR dengan yang tidak mendapatkan imunisasi adalah sebesar Rp 26.598.238/orang. Anak dengan sindrom rubella kongenital mengalami katarak sejak lahir yang harus dioperasi, dengan jantung (celah/katup jantung yang masih terbuka), sedangkan biayanya mencapai hitungan huruf “M”.
VAKSIN RUBELLA
Pada tahun 2011, WHO merekomendasikan agar semua negara yang belum mengintroduksikan vaksin rubella dan telah menggunakan 2 (dua) dosis vaksin campak dalam program imunisasi rutin untuk memasukkan vaksin rubella dalam program imunisasi rutin. Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI) sudah mengeluarkan rekomendasi pada 11 Januari 2016 mengenai introduksi, agar mengintegrasikan vaksin Measles Rubella ke dalam program imunisasi nasional untuk menurunkan angka kejadian penyakit rubella dan Congenital Rubella Syndrome.
Pemerintah telah mencanangkan Program Vaksin MR, pelaksanaan kampanye vaksin MR pada anak usia 9 – 15 tahun secara bertahap dalam dua fase sbb: Fase pertama, bulan Agustus-September 2017 di seluruh Pulau Jawa. Fase kedua, bulan Agustus-September 2018 di seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua dengan cakupan ≥ 95% terdapat 66.859.112 anak di seluruh Indonesia.
Imunisasi MR ini diberikan tanpa melihat status imunisasi maupun riwayat penyakit campak dan rubella sebelumnya. Vaksin rubella tersedia dalam bentuk monovalent maupun kombinasi dengan vaksin virus yang lain, misalnya dengan campak (Measles Rubella/MR) atau dengan campak dan parotitis (Measles Mumps Rubella/MMR).
Semua vaksin rubella dapat menimbulkan serokonversi sebesar 95% atau lebih setelah pemberian satu dosis vaksin dan efikasi vaksin diperkirakan sekitar 90% – 100%. Satu orang tenaga kesehatan diperkirakan mampu memberikan pelayanan suntikan imunisasi MR pada maksimal 100-125 sasaran/hari. Vaksin yang sudah dilarutkan pun hanya boleh digunakan dalam waktu enam jam. Karena itu, hanya boleh melarutkan satu vial vaksin dan baru boleh melarutkan vaksin lagi bila vaksin pada vial sebelumnya sudah habis, serta masih ada sasaran.
Tenaga kesehatan juga harus mencatat jam pelarutan vaksin pada label vaksin dan memperhatikan prosedur aseptik. Pelaporan kejadian ikutan pasca vaksinasi dilaksanakan secara bertahap dan bertingkat, dengan jangka waktu 24 jam.
Terkait hal itu, GAVI memberi hibah 27 juta dollar AS guna kampanye vaksin MR. Sementara biaya operasional imunisasi 3,9 juta dollar AS dengan APBN. Efektivitas vaksin rubela ini 90%. Efek samping vaksin MR yakni bercak merah dan demam, tetapi jarang terjadi.
Berdasarkan laporan dari Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) dr H.M. Subuh, MPPM optimis mencapai angka 95% dari seluruh anak-anak di Pulau Jawa pada hari ke-30. Sampai akhir bulan Agustus lalu di Jawa Tengah terdapat 3,007 juta anak (sekitar 39,26%) dari total sasaran yang harus diimunisasi.
Kemudian menyusul Jawa Barat sebanyak 4.38 juta (sekitar 35,57%), Yogyakarta 35,67%, dan Jawa Timur 37,47%. Sedangkan cakupan terendah ada di DKI Jakarta sebanyak 700.000 anak dengan persentase 28.61%. Kepala Biro Komunikasi dan Humas Kementerian Kesehatan RI, Oscar Primadi, menjelaskan, jumlah cakupan anak tervaksin MR di Pulau Jawa mencapai 20 juta atau secara rinci 20.503.180 (58,6%) sampai awal September dan sejauh ini dilaporkan hanya ada 17 anak sakit setelah imunisasi, dari 17.133.271 vaksin yang sudah diberikan. Itupun semua hasilnya menyatakan koinsiden, atau sakit yang terjadi hanya kebetulan setelah imunisasi, sedangkan penyebab asli penyakit yang diderita telah ditemukan.
Hasil pertemuan rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Menteri Kesehatan Prof. Nila F. Moeloek memberikan komitmen untuk memperjuangkan dan mensukseskan program imunisasi MR. Pihaknya juga sedang berusaha mensertifikasi halal vaksin MR, sehingga tidak terjadi polemik di masyarakat yang mayoritas muslim. Semangat terus dan jaga optimisme pejuang vaksin MR untuk generasi penerus bangsa menuju sehat dan berkualitas. (*)
Editor: Bambang Bes
*) Penulis, Dr. M. Yusuf Alamudi, S.Si., M.Trop.Med adalah peneliti pada Institute of Tropical Deseases (ITD) Universitas Airlangga, serta Ketua Alumni Program Pascasarjana Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.