Pragmatisme Sebagai Ideologi Partai Politik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
perindo
Foto: sindonews.com

Memiliki modal dan basis masa yang dianggap mumpuni, empat partai nasional lahir tahun ini. Mereka adalah Partai Persatuan Indonesia (PERINDO), Partai Islam Damai Aman (Idaman), Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Priboemi. Mereka bergerak cepat mencari simpati publik dengan mematok target ikut bertarung di pemilu 2019.

Bermunculannya partai-partai baru merupakan fenomena lumrah yang terjadi pasca Orde Baru. Setelah disekap begitu lama dalam kategorisasi kepartaian yang direkayasa penguasa, awal reformasi menjadi momen karnaval ideologi partai politik untuk tampil dipermukaan. Terbukti dalam pemilu 1999 terdapat 48 partai kontestan pemilu.

Salah satu wujud nyata dari terbukanya demokrasi adalah dengan keberadaan partai politik. Clinton Rossister (1960:1) mengatakan, “No America without democracy, no democracy without politics, and no politics without parties”. Selaras dengan ungkapan Richards Katz (1980:1), “modern democracy is party democracy”.

Kemunculan partai-partai (multi partai) berbanding lurus dengan tumbuhnya proses demokratisasi, khususnya yang berkaitan dengan kesamaan hak antar warga negara. Seiring dengan perkembangan masyarakat postmodern, spesialisasi dan diferensiasi peran sosial adalah sebuah keniscayaan. Bentuk kepentingan dan latar belakang orang-orang yang begitu plural, sehingga masing-masing memiliki kebutuhan dan keinginan yang harus diperjuangkan melalui pengaruh kebijakan politik. Kelompok kepentingan dan partai politik merupakan manfestasi dari hasrat tersebut.

Sistem multi partai diharapkan mampu menjadi media komunikasi politik untuk menjembatani bentuk aspirasi kepentingan setiap tuntutan yang beragam. Semakin berkembang modern masyarakat, maka pola sikap dan orientasi anggota masyarakat cenderung eksplisit berorientasi terhadap sistem politik sebagai keseluruhan, input dan output dan terhadap diri sendiri sebagai aktor politik. Biasanya terdapat pada masyarakat perkotaan yang terpelajar dan menyadari posisi dan peran politiknya, sehingga dapat mendesakkan kepentingan kepada sistem politik yang berlaku.

Menurut Giovanni Sartori, ilmuwan politik dari Italia, merumuskan sistem kepartain pada kriteria jumlah kutub (polar), jarak antara polar-polar itu (polarity), dan arah dorongan interaksi politiknya. Dia membagi tiga model, yakni pluralisme sederhana (simple pluralism), Pluralisme Moderat (moderate pluralism), dan Pluralisme Ektrem (extreme pluralism). Merujuk pada pandangan Sartori, Indonesia mempunyai sistem pluralisme ekstrem, karena mempunyai banyak kutub atau sistem banyak partai yang saling berjarak jauh dan bertentangan, sangat terpolarisasi (kutub kiri : sosialis, kutub kanan : Islam dan Kristen, demokrasi dan radikal, kutub tengah : nasionalis), dan dorongan aktifitas politik yang sentrifugal (menjauh dari pusat).

Sayangnya, fakta politik di Indonesia yang berlangsung tidak sama dengan prediksi Sartori. Meski pun di Indonesia terdapat banyak partai yang dikawatirkan akan terjadi benturan keras karena perbedaan ideologi, semua partai yang ada sekarang hampir seragam dalam pola kecendrungan ideologinya. Jargon mereka dalam setiap pemilu relatif sama, yaitu ekonomi kerakyatan, demokrasi dan religius. Hal ini sangat bertolak belakang dengan katagorisasi ideologi partai pada zaman orde baru. Difusi tiga partai telah memberikan corak ideologi tertentu yang identik bagi masing-masing partai.

Kenyataan ideologi pragmatis yang dialami hampir semua partai diperparah dengan berlakunya mekanisme pemilihan terbuka. Kecendrungan sosok yang diusung sangat berpengaruh terhadap keterpilihan partai tersebut. Maka, merupakan sebuah konsekuensi logis kalau dalam setiap pemilihan terdapat tokoh-tokoh populer yang bukan kader partai ditarik untuk mendulang suara. Artis, seniman, atlit atau siapa pun yang dianggap memiliki popularitas bisa mendapat rekomendasi dari partai untuk maju sebagai calon DPR atau bahkan Presiden.

Sebenarnya, hal di atas bukan merupakan suatu pelanggaran, namun rekrutmen dan kaderasisi sebagai fungsi normatif partai dialpakan. Taruhlah secara tiba-tiba menjelang pemilu banyak partai politik melamar tokoh-tokoh terkenal untuk mau diusung tanpa melalui proses pengkaderan panjang sebelumnya. Selain itu, hal tersebut bisa mencederai pengkaderan partai itu sendiri. Bayangkan, atas dasar donasi terhadap partai, banyak kalangan pengusaha yang tiba-tiba menjabat posisi strategis di struktural partai.

Pragmatis merupakan ideologi yang dianut elit politik kita. Hal ini senada dengan ungkapan Lopalombara dan Weiner yang mendefinisikan partai sekedar kelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin materil dan idiil kepada para anggotanya. Kedua ilmuan tersebut mengabaikan faktor ideologi sebagai motifasi dan pemersatu sebuah partai. Mungkin juga pendapat tersebut dipengaruhi oleh pandangan di barat pada waktu itu bahwa ideologi telah mati (Ramlan Surbakti:1992).

Kini terdapat empat partai yang siap ikut merayakan kebebasan demokrasi politik di Indonesia. Partai-partai yang muncul ketika dunia politik mengalami degradasi persepsi dan dipandang publik sebagai panggung yang tidak terhormat untuk dimasuki. Apakah mereka akan tetap teguh dengan platform yang disepakati dengan ideologi yang melatarbelakangi partai itu didirikan? Atau, kita lihat saja nanti!

Berita Terkait

Dian Dwi Jayanto

Dian Dwi Jayanto

Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unair. Pernah belajar di Pesantren Tambak Beras Jombang selama 8 tahun.