Strategi Diskursif Manipulasi di Wacana Politik Covid-19

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by BBC

Setelah mewabah di kota Wuhan pada akhir 2019, Covid-19 telah menginfeksi jutaan orang di seluruh dunia. Jumlah kasus yang dikonfirmasi dan kematian karena virus tersebut juga terus meningkat. Dipicu oleh pandemi ini, banyak tokoh politik ternama berupaya melakukan berbagai cara untuk mempengaruhi masyarakat. Konsep wacana politik memungkinkan politisi mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang realitas sosial ataupun politik di lingkup yang lebih luas. Banyak politisi menggunakan pandangan impresionistik untuk mempengaruhi orang lain dan membuat mereka percaya dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keinginan dan kepentingan mereka. Pidato politik tampaknya merupakan wacana politik paling efektif yang umumnya mencakup manipulasi diskursif.

Manipulasi dalam wacana politik didefinisikan oleh Profesor Cabrejas Peñuelas sebagai “kontrol tidak sah oleh manipulator atas orang lain” untuk membuat mereka percaya bahwa setiap kebijakan yang diambil dilakukan untuk kepentingan terbaik rakyat padahal sebenarnya kebijakan tersebut hanya menguntungkan manipulator. Manipulasi dapat bersifat interpersonal atau sosial. Manipulasi antar individu disebut sebagai interpersonal sedangkan manipulasi sosial dilakukan oleh lembaga atau organisasi untuk merugikan kolektivitas orang, seperti pembaca, pemilih, penonton, dan opini publik. Menururut Profesor van Dijk hal itu memproduksi atau mungkin mereproduksi ketidaksetaraan. Karena manipulasi sosial-politik terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan, maka manipulasi sosial-politik bersifat ideologis, yang meliputi ideologi, sikap ideologis, dan struktur wacana ideologis yang diwujudkan dalam strategi manipulasi diskursif.

Manipulasi adalah salah satu gagasan dalam Analisis Wacana Kritis (selanjutnya AWK) tapi relatif kurang mendapat perhatian. Beberapa peneliti telah menganalisis manipulasi dalam wacana media. Namun, studi manipulasi dalam wacana politik, khususnya pidato, masih jarang. Selain itu, masih sangat terbatas penelitian tentang manipulasi dalam pidato politik yang membahas pandemi Covid-19. Wacana manipulatif terkait Covid-19 menjadi legitimasi keputusan untuk memperlambat penyebaran virus dan mengelola kenormalan baru di masa pandemi.

Dalam penelitian kami pada pidato politik tentang wabah Covid-19 yang disampaikan oleh Presiden Amerika, Donald Trump, dan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, dengan menggunakan teori strategi manipulasi dari Profesor van Dijk, kami menemukan beberapa strategi manipulasi yang digunakan oleh kedua presiden tersebut. Presiden Trump dan Presiden Bolsonaro terlibat dalam manipulasi sosial terkait Covid-19. Seluruh fitur manipulasi dapat ditemukan dalam pidato Presiden Trump, sementara Presiden Bolsonaro mengecualikan satu gagasan yang dikodekan sebagai ‘menambahkan bukti yang tampaknya tak terbantahkan tentang keyakinan dan alasan pembicara’.

Temuan sekunder dari analisis ini adalah manipulasi dalam pidato Presiden Trump dan Presiden Bolsonaro menunjukkan sikap negatif dan penilaian negatif kedua presiden terhadap pandemi global. Tingkat keparahan virus baru dan siklus penularannya yang cepat diremehkan. Publik dibujuk untuk percaya bahwa virus bukanlah ancaman yang tidak dapat mereka lawan dan kalahkan. Para presiden menyajikan banyak informasi yang menyesatkan, argumen yang salah, dan teori yang salah untuk meyakinkan penerima agar berpikir bahwa pemerintah tidak akan gagal melindungi publik, mengurangi risiko eksposur, dan mencegah kesulitan keuangan bagi rakyat.

Di antara beberapa strategi manipulasi, polarisasi ideologi adalah kategori yang paling sering ditemui. Polarisasi digunakan ketika kelompok besar dalam masyarakat perlu mendapatkan perubahan dramatis dalam struktur, organisasi, dan koneksi kekuasaan. Gagasan ini sangat kuat dan efektif karena dapat mempengaruhi banyak orang di lingkungan yang lebih luas. Karena erat kaitannya dengan ideologi dan keyakinan tertentu, polarisasi mampu mengindoktrinasi suatu komunitas dengan keyakinan dan nilai-nilai bersama. Melalui fitur linguistik tertentu, polarisasi digunakan secara khusus untuk mengabaikan keseriusan masalah dengan meyakinkan penerima untuk berpikir sebaliknya dan membangun citra yang mengedepankan individu atau pihak tertentu. Menurut Profesor McCoy, srategi ini dapat merusak demokrasi dan meningkatkan otoritarianisme dengan “memperkuat kebencian dan berkontribusi pada meningkatnya keberpihakan negatif massal, memperkuat kecenderungan kesukuan terhadap loyalitas dalam kelompok dan konflik dengan pihak luar, meningkatkan jarak sosial, dan mengurangi kemauan untuk bekerja sama dan berkompromi dengan kelompok luar politik”.

Mengingat peran utama manipulasi, temuan dalam studi ini penting untuk memahami strategi manipulasi diskursif dalam wacana politik dan implikasinya. Menampilkan daya tarik emosional yang tidak sesuai, presentasi diri yang positif, dan fitur retoris membantu bagaimana tokoh politik membuat emosional argumen mereka atas bukti logis untuk memenangkan reaksi emosional dari publik. Perlu dipahami bahwa representasi diri yang positif bersama dengan manipulasi informasi implisit atau eksplisit adalah fitur yang efektif untuk meningkatkan kekuatan pembicara dan memunculkan argumen lain. Beberapa tindak tutur (speech acts), perangkat retorika, kata ganti, leksikalisasi, serta penekanan topik juga berkontribusi pada kerangka polarisasi.

Temuan ini memberikan implikasi bagi publik untuk mengenali misinformasi dengan meningkatkan literasi media melalui pemikiran kritis yang kuat, kesadaran, dan mengintegrasikan keterampilan penelitian. Menafsirkan, mengevaluasi, dan memeriksa fakta semua informasi yang diterima berpengaruh dalam menciptakan publik yang aktif dan berpengetahuan luas. Meskipun hasil sebenarnya sulit untuk diukur, pendekatan tersebut tampaknya berjalan dalam mencegah manipulasi.

Namun, salah satu batasan penting dari penelitian ini adalah tentang jumlah data. Jika lebih banyak pidato dengan topik yang sama dianalisis, temuan dapat lebih mengungkap realisasi manipulasi diskursif dalam wacana politik. Selain itu, ruang lingkup penelitian ini mempunyai beberapa celah seperti efek sosial dari manipulasi dan komunikasi non-verbal yang mewakili, menyertai, atau memperkuat manipulasi. Peneliti selanjutnya dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan dengan melakukan penelitian tentang topik tersebut. Selanjutnya, penelitian yang lebih mendalam diharapkan untuk mengkaji pidato non-bahasa Inggris untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang realisasi manipulasi dalam wacana politik.

Penulis: Muchamad Sholakhuddin Al Fajri Informasi detail dari artikel ini dapat dibaca lebih lengkap pada tautan publikasi ilmiah berikut: https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/21582440221079884

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp