Metode PCR-RFLP Solusi Pemilihan Bibit Unggul pada Ternak Sapi Potong Madura

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Prof Dr Budi Utomo drh MSi resmi dikukuhkan menjadi Guru Besar ke-541 Universitas Airlanga. (Foto: Agus Irwanto)

UNAIR NEWS – Prof Dr Budi Utomo drh MSi resmi dikukuhkan menjadi Guru Besar ke-541 Universitas Airlangga (UNAIR). Tepatnya pada Rabu (16/03/2022) di Aula Garuda Mukti, Kantor manajemen Kampus C UNAIR.

Guru besar bidang ilmu kemajiran Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) itu menyampaikan orasi ilmiah berjudul Peningkatan Akurasi Pemilihan Bibit Unggul pada Ternak Sapi Potong Madura dengan Metode PCR-RFLP (POLYMERASE CHAIN REACTION-RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISMS) untuk Mengatasi Gangguan Hipofungsi Ovarium.

Prof Budi menyebut sapi madura merupakan salah satu jenis sapi lokal Indonesia yang memiliki karakter hampir sama dengan sapi Bali. Hanya saja ukuran tubuh dan tanduknya lebih kecil. 

“Warna kulit pada sapi madura jantan dan betina lebih coklat dari sapi Bali, begitupun kaki bagian bawah sampai lutut. Selain itu, sapi madura lebih tahan terhadap cuaca panas, efisien terhadap makanan, memiliki kualitas daging yang baik, dan lebih resisten terhadap parasit,” ujarnya.

Gangguan Reproduksi

Lebih lanjut, Prof Budi menyampaikan gangguan reproduksi yang sering terjadi pada sapi yaitu hipofungsi ovarium. Hipofungsi ovarium, tandasnya, adalah suatu kejadian dimana ovarium mengalami penurunan fungsinya sehingga tidak terjadi perkembangan folikel dan tidak terjadi ovulasi. 

“Menurut data hasil pelaksanaan Gangguan Reproduksi (Gangrep) tahun 2018 oleh Dinas Peternakan Kabupaten Bangkalan menyatakan bahwa dari 4520 ekor sapi Madura dan sapi persilangan Madura yang diambil sampelnya secara acak, 829 ekor sapi dinyatakan positif kasus hipofungsi ovarium,” papar Prof Budi.

Selain itu, tambahnya, kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi hipofisa anterior sehingga produksi dan sekresi hormon Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormon (LH) rendah, yang menyebabkan ovarium tidak berkembang ataupun mengalami hipofungsi.

PCR-RFLP

Prof Budi memaparkan bahwa dewasa ini telah diketahui dengan pasti dua situs polimorfisme pada gen struktur FSHR. Polimorfisme pertama, sambungnya, ditemukan pada domain ekstraseluler pada kodon 307 (posisi sekuens nukleotida 919) yang dapat ditempati oleh Alanin (GCT) atau Treonin (ACT). Sedangkan polimorfisme kedua, tandasnya, terletak pada domain transmembran pada kodon 680 (posisi sekuens nukleotida 2039) yang dapat ditempati oleh Asparagin (AAT) atau Serin (AGT).

“Identifikasi kedua polimorfisme pada ekson 10 gen FSHR ini dapat dilakukan dengan analisis Polymerase Chain Reaction Single Stranded Conformation Polymorphisms (PCR-SSCP), sedangkan khusus pada kodon 680 juga dapat dilakukan analisis dengan PCR-SSCP dan  PCR-RFLP,” jelasnya.

Lebih lanjut, Prof Budi menyebut karena pada kodon 680 ekson 10 gen FSIR mempunyai situs restriksi yang dapat dikenali oleh enzim restriksi Bsr SI, maka posisi itu dapat dianalisis dengan PCR-RFLP. “Hal ini menunjukkan suatu hubungan yang jelas pada regulasi feedback FSH yang bergantung pada tipe FSHR,” ungkapnya.

Residu Asn, tandasnya, berkontribusi dalam glikosilasi FSHR dan penting dalam proses pasca- translasi reseptor dan ekspresi pada permukaan sel. Sebaliknya residu Ser berkontribusi dalam fosforilasi yang berpotensi menyebabkan turnover reseptor. 

“Pada prinsipnya RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan atau menciptakan sekuen rekognisi baru bagi enzim restriksi. Penyisipan (insersi), penghilangan (delesi), maupun substitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan terjadinya perbedaan pola pemotongan DNA,” pungkasnya. (*)

Penulis : Muhammad Suryadiningrat

Editor : Khefti Al Mawalia 

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp