Peran Pola Palatal Rugae dalam Identifikasi Jenis Kelamin

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Twitter

Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas, terdiri dari lebih dari 17.500 pulau, dan terletak di Daerah Ring of Fire, rawan bencana alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia  (BNPB) telah melaporkan bahwa lebih dari 1.500 bencana terjadi selama tahun 2020. Metode identifikasi yang efektif dan efisien diperlukan jika terjadi bencana massal. Menurut Panduan Interpol DVI, 2018, ada dua jenis metode identifikasi manusia, primary identifier dan secondary identifier. Primary identifier antara lain pemeriksaan DNA, sidik jari, dan gigi. Sedangkan secondary identifier, seperti pola palatal rugae, kartu tanda pengenal, pola sidik bibir, dan catatan medis dianggap sebagai informasi yang mendukung saat mengidentifikasi individu.

Secara anatomis palatal rugae adalah lipatan atau tonjolan keras yang berada langit-langit mulut bagian depan dan bentuknya tidak teratur (irregular). Pola palatal rugae telah digunakan dalam banyak penelitian untuk berbagai tujuan, seperti perbandingan anatomi, odontologi forensik, antropologi, prostodontik, dan ortodontik. Dalam bidang prostodontik, palatal rugae dapat mempengaruhi rencana perawatan pada pasien yang tidak memiliki gigi sama sekali (edentulous), sedangkan pada bidang ortodontik palatal rugae dapat digunakan untuk menganalisa dan menghitung terjadinya pergerakan gigi selama perawatan. Pola dan bentuk dari palatal rugae tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan atau hilangnya gigi.

Pada penelitian  A. Saraf tahun 2011, ditemukan bahwa pola palatal rugae dapat digunakan sebagai alat identifikasi untuk membedakan jenis kelamin. Senada dengan penelitian tersebut, Shilpa dan Arpit juga menyimpulkan bahwa pola palatal rugae juga dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin. Selain itu, palatal rugae juga terbukti dapat digunakan untuk identifikasi individu karena bentuk khasnya disetiap individu. Namun identifikasi individu maupun jenis kelamin melalui pola palatal rugae juga harus disertai dengan identifikasi primer agar didapatkan hasil yang lebih meyakinkan.

Ada beberapa pembagian klasifikasi pola palatal rugae, salah satunya adalah klasifikasi oleh Lysell tahun 1955, dia membagi pola palatal rugae ke dalam 4 klasifikasi yaitu: rugae primer dengan panjang minimal 5 mm, rugae sekunder dengan panjang antar 3 hingga 5 mm, rugae fragmenter adalah rugae dengan panjang 2 hingga 3 mm, dan bila rugae yang kurang dari 2 mm maka dapat diabaikan. Klasifikasi tersebut cukup memudahkan para peneliti karena kemudahan yang didapatkan dari klasifikasi tersebut. Selain itu ada klasifikasi lain yang diperkenalkan oleh Thomas dan Kotze tahun 1983, klasifikasi ini adalah yang paling sering digunakan oleh para peneliti yang melakukan penelitian pada pola palatal rugae. Thimas dan Kotze melakukan modifikasi pada klasifikasi oleh Lysell dengan cara menambahkan dentail bentuk dari rugae primer. Thomas dan Kotze mengklasifikasikan pola palatal rugae menjadi 6 jenis, yaitu: divergen, konvergen, kurva (curved), bergelombang (wavy), lurus (straight), dan circular.

Penulis melakukan penelitian tentang pola palatal rugae kepada 70 individu masyarakat Tengger yang bertempat tinggal di Desa Kayukebek, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur pada tahun 2016. Masyarakat Tengger adalah masyarakat yang bertempat tinggal di kaki gunung berapi Pengunungan Tengger, salah satunya adalah masyarakat Tengger yang tinggal di Desa Kayukebek. Masyarakat Tengger memiliki ritual atau adat yang masih dijaga sejak lama yaitu menikah dengan hanya dengan sesama orang Tengger atau disebut juga endogami. Kebiasaan endogami tersebut mungkin berperan dalam menjaga ciri khas yang tampak pada pola palatal rugae masyarakat tersebut. Pada penelitian yang telah dilakukan pada 34 laki-laki dan 36 perempuan di Desa Kayukebek ditemukan bahwa pola palatal rugae dapat digunakan sebagai media untuk menentukan jenis kelamin, dimana pola palatal rugae circular hanya ditemukan pada laki-laki. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khalid tahun 2016.

Hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai populasi yang berbeda tidak menunjukkan hasil yang sama persis. Hal tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik yang menyebabkan ciri khas dari masing-masing populasi. Dengan tetap mempertahankan adat istiadat seperti endogami yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Kayukebek, pola palatal rugae circular mungkin akan tetap terus diturunkan hanya pada laki-laki di desa tersebut. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang signifikan pada pola palatal rugae circular bila dibandingkan antara laki-laki dan perempuan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pola palatal rugae dapat dijadikan sebagai pembeda jenis kelamin pada populasi Tengger di Desa Kayukebek. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola palatal rugae berpotensi sebagai media atau alat yang dapati dijadikan sebagai penentu jenis kelamin, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih banyak.

Penulis: Beshlina Fitri Widayanti Roosyanto Prakoeswa, drg.

Judul jurnal: Palatal rugoscopy as an aid for sex determination in Tengger population, Indonesia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp