Sekali Lagi Memori Komunisme dan Politik Trauma

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh wealthprofessional.ca

Keharusan untuk menjelaskan duduk soal atas rasa cemas terhadap komunisme hari ini, seperti terpantul dalam pernyataan para elite di penghujung September tahun ini, adalah ikhtiar yang telanjur menjadi dosis tahunan. Ada sebuah rutinitas yang hampir-hampir menyerupai perayaan terhadap apa saja yang berkait pada 1965. Orang memanggil kembali ingatan kekejaman di masa lalu dan memindahnya ke konteks hidup sehari-hari dengan semangat paranoia. Merayakan kenangan atas 1965 tidak lagi diisi oleh upacara, doa, dan tabur bunga; tapi jauh lebih genting adalah lewat tudingan serius atas beberapa kelompok sebagai anasir pembawa sial komunisme, ancaman negara, bahaya laten.

Tapi sekali lagi segera berjangkar tanda tanya besar di sana: dari mana kepanikan itu hadir di tengah bangkrutnya ideologi kiri sebagai kiblat bernegara? Ketika tak ada deret bukti yang solid atas kebangkitan komunis yang mengancam kita, menjadi lazim untuk mempertanyakan ulang mengapa ia dihadirkan, lagi-lagi sebagai trauma yang menggentayangi politik kita?

Genesis Legitimasi

Genesis legitimasi dari anti-komunisme Indonesia mendasarkan diri pada eksistensi Ketetapan MPRS XXV/1966 tentang pelarangan PKI dan penyebaran ideologi komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Narasi besar ini bergema lantang dengan ancaman bahaya laten kebangkitan PKI, yang dianggap dapat sewaktu-waktu mengambil tempat di republik dan memorak-porandakan tatanan. Tanpa memerlukan bukti sahih, riset mendalam, atau analisis ilmiah, orang memercayai betapa komunisme adalah hantu yang dapat mewujud nyata dalam ketiba-tibaan, di tengah tumbuh-kembang ide-ide progresif, keterbukaan teknologi, sekaligus pertemuan sains. Beberapa berkeyakinan bahwa Ketetapan MPRS masih dipandang perlu untuk memastikan habisnya PKI di Indonesia, tapi pada aspek tertentu, ia juga dipakai sebagai ‘monumen sejarah’ untuk siapapun agar mengingat betapa gawatnya komunisme, dan oleh sebab itu, betapa rentannya kita, dulu dan mungkin juga nanti. Peraturan itu berujung simalakama: ia memastikan kepunahan PKI, tapi juga mengawetkan kecemasan psikologis yang rapuh pada provokasi.

Kerapuhan ini dieksploitasi dengan cara yang kreatif dan berkelanjutan dari rezim ke rezim. Para pemimpin terus-menerus mendeklarasikan perang terhadap komunisme, meyakini musuh sudah di ambang pintu, tanpa perlu melihat dan memeriksanya. Kompetitor politik, di seberang sana, membakar isu ini dengan provokasi atas hadir dan bangkitnya kelompok kiri komunis. Adakah ini sebuah gejala traumatik sejarah yang hampir-hampir tak tersembuhkan oleh rekonsiliasi dalam bentuk apapun, ataukah semacam jebakan politik yang mengurung pikiran kita untuk fokus pada hantu sejarah, dan meloloskan kritik pada aspek lain yang tak kalah gentingnya?

Politik Trauma

Ada 1.939 publikasi bertema komunisme Indonesia sejak tahun 1967, dengan 766 diantaranya ditulis setelah Orde Baru tumbang (Eickhoff, Klinken dan Robinson 2017). Sebagian besar tulisan mencoba mencari terang dan mengisi perdebatan ihwal perkembangan komunisme Indonesia, aktor-aktor yang terlibat, hingga faktor-faktor penyebab konflik. Publikasi-publikasi mutakhir bahkan telah menjawab setapak demi setapak kabut sejarah di sekitar 1965; tetapi jumlah tak terkira dari riset-riset akademis, seminar di pemerintahan, hingga ceramah-ceramah lepas tentang 1965, tak dapat secara meyakinkan mencuci habis politik kita dari eksploitasi trauma.

Refrain peristiwa 1965 yang terus bergemuruh tiap tahunnya memerlukan sebuah akomodasi politik yang bersifat reparatif dan rekonsiliatif. Kita tak bisa mendiamkan isu ini berulang tanpa kendali, dikelola dengan cara pragmatisme politik, dikomodifikasi sedemikian rupa dan malah menimbulkan keuntungan-keuntungan posisional politik bagi elite atau faksi tertentu. Komunisme sudah banyak menyumbang energi murah sekaligus massif lewat rumor-rumor yang mencederai martabat manusia—sebagaimana telah lama tampak dalam dua pemilu presiden terakhir.

Tatkala sains dan argumentasi ilmiah disingkirkan dari nalar politik, kini kita mudah melihat betapa rentannya anak bangsa sebagai korban baru yang mengalami persekusi tak berdasar dan stigma komunis yang dihambur-hamburkan. Dalam situasi semacam ini menjadi tak penting lagi memperdebatkan apakah elite memiliki bukti sahih kebangkitan hantu PKI—setelah lebih dari separo abad dilarang dari bumi Indonesia—apalagi menyelesaikan pelanggaran berat masa lalu. Sebab, kini berkelindan kontestasi stigma dan pengakuan besar-besaran sebagai yang paling anti-komunis. Pembersihan diri (self-cleansing) itu adalah hal yang harus ditempuh guna menghindarkan diri dari tudingan simpatisan 1965, yang masih memiliki kegawatan-kegawatan bawaan sampai ancaman ke jeruji besi. Para elite menjadi penafsir paling aktif atas siapa yang sah diidentifikasi sebagai komunis, bahkan tanpa lagi mendiskusikan secara teoretik dan paradigmatik tentang apa sesungguhnya wujud bahaya itu sebelum kata putus dan final diambil. Kaidah diskusi akademis tak ada gunanya lagi dan ketergesa-gesaan tudingan justru penting, sebab dari sana elite berlomba dalam hal kecepatan untuk menjadi siapa yang lebih dulu menggunakan senjata fitnah komunis sekaligus siapa yang mendaku paling awal sebagai anti-komunis.

Dengan demikian, salah satu kepentingan besar dalam menjaga agar diskursus anti-komunisme tak padam adalah lantaran ia menjanjikan keuntungan elektoral yang pasti. Pada tiap-tiap helatan politik, mudah sekali dilihat beroperasinya fabrikasi trauma yang bermaksud mengepung kompetitor politik lewat tempelan dan provokasi ihwal komunisme. Sirkuit korban yang semakin luas seharusnya direspons dengan mendisiplinkan permainan trauma dalam medan politik ini. Faktanya, selain membiarkan sengkarut hukum atas peristiwa 1965, elite justru berbalik dan menikmati komoditas trauma sebagai senjata ampuh yang dibidikkan ke segala penjuru musuh. Trauma disulap menjadi alat politik yang dampaknya terasa secara elektoral hingga di bilik suara.

Diakui atau tidak, resep ini amat sering kita lihat dan secara canggih dikemas sedemikian rupa melalui isu-isu politik mutakhir dan piranti media pendukung yang meyakinkan.

Oleh: Rendy Pahrun Wadipalapa

Link Jurnal: https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=AE4iQ2QAAAAJ&citation_for_view=AE4iQ2QAAAAJ:Tyk-4Ss8FVUC

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp