Disleksia Tidak Selalu Muncul Sebagai Ketidakakuratan dalam Mengeja

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi by Republika

Sebagai salah satu Gangguan Belajar Spesifik, Disleksia seringkali diidentikkan dengan ketidakmampuan mengeja atau kesulitan dalam menulis kata-kata dengan ejaan yang benar. Proses membaca sangatlah kompleks yang didalamnya melibatkan kemampuan kognitif yang saling terkait (de Groot, 2013; McNamara & Kendeou, 2017). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa ketidakmampuan anak dengan disleksia dalam memahami bacaan oleh kekurangan pada kesadaran fonologi (Layes et al., 2021; Stappen & Van Reybroeck, 2018) dan kesadaran morfologinya (Layes dkk., 2017; Vaknin-Nusbaum & Saiegh-Haddad, 2020; Zhang, 2017). Padahal kedua aspek ini hanya sebagian dari proses kognitif yang terjadi saat membaca yang berkaitan dengan kemampuan mengeja. Selain itu, ketidakmampuan memahami bacaan yang diakibatkan oleh gangguan pada kedua aspek ini justru tidak terlalu tampak pada Bahasa dengan ortografi transparan (Reis et al., 2020), seperti Bahasa Indonesia. Alih-alih, gangguan membaca yang dialami oleh anak dengan disleksia bisa saja tampak pada saat mereka memahami bacaan. Proses memahami bacaan adalah proses kognitif berada pada tataran yang lebih tinggi daripada proses mengeja (Field, 2003). Proses membaca ini tentunya akan lebih kompleks jika anak tersebut adalah dwibahasawan yang memperoleh dua Bahasa dengan ortografi yang berbeda, misalnya Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (de Groot, 2013).

Untuk memahami bacaan, seseorang butuh mengakses simpanan background knowledge mereka dan mengambil informasi tertentu yang dibutuhkan untuk memahami konteks tulisan yang mereka baca (de Groot, 2013). Dengan kata lain, kemampuan kognitif yang terkait dengan penggunaan working memory dibutuhkan (Nouwens et al., 2017) terutama pada saat mengakses simpanan background knowledge. Pada anak dengan disleksia kemampuan ini juga mengalami gangguan (Bonifacci dkk., 2017; De Carvalho dkk.,2014). Hal ini berarti meskipun anak dengan disleksia mampu membaca dan mengeja dengan akurat, bisa saja anak tersebut masih kesulitan dalam memahami apa yang telah dia baca. Sejatinya, kegiatan membaca bukan hanya membaca kata-kata dalam isolasi, melainkan juga memahami makna dari rangkaian kata-kata yang seringkali menimbulkan persepsi yang berbeda jika masing-masing kata berdiri sendiri (Dardjowidjoyo, 2003).

Sayangnya, kajian tentang proses membaca pada tataran pemahaman dalam konteks dwibahasawan di Indonesia masih sedikit. Salah satu dari sedikit penelitian itu melibatkan seorang siswa dwibahasawan kelas 2 SD berusia 9 tahun. Siswa tersebut didiagnosa memiliki gangguan belajar spesifik disleksia dan menguasai Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang dia gunakan dengan sama fasihnya dalam komunikasi sehari-hari di sekolah maupun di rumah. Sekilas siswa tersebut mampu membaca seakurat teman-teman sekelasnya. Hanya saja, pada saat menjawab pertanyaan terkait bacaan, siswa tersebut mengalami kesulitan. Gangguan ini muncul pada kedua Bahasa yang dikuasai oleh partisipan.

Pada tes membaca, ditemukan bahwa partisipan dengan disleksia mampu membaca seakurat semua teman satu kelasnya. Tidak ada kata yang salah eja. Hanya saja, pada saat partisipan tersebut  diberi pertanyaan yang berhubungan dengan kalimat yang baru dia baca, dia hanya mampu menjawab benar sekitar 50% dari total seluruh kalimat yang diujikan di teks Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sementara itu, rata-rata teman satu kelasnya mampu menjawab benar hingga lebih dari 60%.  Perbandingan jumlah jawaban benar ini mungkin tampak tidak terlalu besar. Hanya saja, setelah jawaban salah dikaji, tampaklah kecenderungan partisipan dengan disleksia dalam memahami bacaan di kedua bahasa. Prtisipan dengan disleksia cenderung menjawab hampir semua pertanyaan dengan mengandalkan background knowledge. Berbeda dengan teman-teman sekelasnya yang masih bisa mengaitkan dengan konteks bacaan. Di kedua Bahasa, lebih dari 60% jawaban yang salah menunjukkan respon partisipan dengan disleksia tidak sesuai dengan konteks bacaan. Sementara itu, hanya 25% jawaban salah teman-teman sekelasnya yang tidak sesuai dengan konteks bacaan.

Contoh kasusnya adalah Ketika semua partisipan diminta membaca kalimat “Hewan-hewan lincah itu beratraksi di pertunjukan sirkus.” kemudian diberi pertanyaan “Apa yang mereka lakukan di sirkus?”. Jawaban benar dari pertanyaan tersebut adalah “beratraksi” karena kata “mereka” merujuk ke hewan-hewan yang ada di sirkus. Satu-satunya siswa yang menjawab salah berkata “Mentrasaksikan”. Itu adalah sebuah pseudoword yang mirip dengan kata beratraksi. Kemungkinan siswa ini ingin menjawab “beratraksi” tetapi kesulitan karena jenis katanya memiliki konstruksi konsonan yang rumit. Sementara itu, partisipan dengan disleksia menjawab, “Melihat dan enjoy”. Pada saat partisipan dengan disleksia ini ditanya lebih jauh kenapa dia menjawab begitu. Dia menyahut bahwa kalau di sirkus semuanya pasti melihat saja dan menikmati acaranya. Semua partisipan, dengan disleksia dan tanpa gangguan belajar, pernah melihat sirkus dan dengan demikian memiliki background knowledge yang memadai tentang konsep sirkus. Hanya saja, partisipan dengan disleksia tidak memaknai kalimat sebagaimana mestinya karena informasi yang diambil dari background knowledge-nya bukanlah tentang hewan-hewan di sirkus seperti yang ditanyakan. Melainkan, apa yang dia alami saat melihat sirkus.

Contoh lain terdapat pada kalimat berikut ini, “Lisa was hurt when a thick book fell on her yesterday”. Pada saat ditanya “How was the book?”. Jawaban benar seharusnya adalah thick karena mengacu pada buku di dalam konteks kalimat tersebut. Partisipan dengan disleksia menajawab “Not good. Heavy,”. Sementara itu, satu-satunya siswa yang menjawab salah merespon dengan “Fell”. Siswa itu mengacu pada konteks buku yang jatuh seperti yang diceritakan di dalam kalimat. Sebaliknya, partisipan dengan disleksia menjawab bahwa bukunya berat. Buku yang berat ini tidak disebut pada kalimat. Hanya saja sudah merupakan pengetahuan umum bahwa buku yang tebal biasanya berat dan kalau kejatuhan itu akan menimbulkan rasa sakit. Ini adalah bukti lain bahwa siswa dengan disleksia bisa jadi mampu membaca dengan akurasi ejaan sebaik siswa lainnya. Hanya saja, kemampuan memahami bacaanlah yang lebih terkendala.

 Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa rentang working memory yang dimiliki siswa dengan disleksia lebih pendek daripada siswa tanpa disleksia (Farmer et al., 2017; Kimel et al., 2020). Sehingga, kekurangan dalam memproses informasi dalam teks yang diakibatkan oleh pendeknya rentang working memory ini membuat siswa dengan disleksia cenderung hanya menggunakan informasi apa adanya yang mampu dia ambil dari background knowledge-nya (Kintsch & Rawson, 2005) entah itu sesuai dengan konteks kalimat maupun tidak. Penjelasan ini dapat memberi titik terang kenapa informasi yang mampu partisipan disleksia di kajian ini  ambil untuk menjawab pertanyaan lebih sedikit dibanding dengan teman-teman satu kelasnya di kedua Bahasa.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada guru dan orang tua dari siswa dengan disleksia untuk tidak hanya melatih mengeja saja. Anak-anak dengan disleksia sebaiknya juga dilatih menggunakan background knowledge mereka secara tepat sesuai kebutuhan. Selain itu, Latihan membaca untuk menambah rentang working memory mereka juga sebaiknya diberikan agar mereka mampu mengolah lebih banyak informasi dalam setiap teks yang dibaca. Pelatihan ini tentunya akan sangat membantu siswa dengan disleksia dalam kegiatan belajar mereka agar dapat menyerap pengetahuan dengan lebih optimal.

Penulis: Angkita W Kirana

Judul dan Link jurna: ISSUES IN READING COMPREHENSION: A CASE OF AN INDONESIAN BILINGUAL DYSLEXIC STUDENT

https://ejournal.upi.edu/index.php/IJAL/article/view/33581 https://doi.org/10.17509/ijal.v11i3.33581

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp