Upaya Penerapan Ekonomi Sirkular dalam Rangka Pengurangan Limbah Makanan di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Alinea ID

Masalah limbah makanan merupakan permasalahan yang memprihatinkan karena menimbulkan biaya sosial dan lingkungan yang besar serta berkontribusi pada penurunan ketahanan rantai pasokan makanan (Melikoglu, Lin, dan Webb 2013; Munesue dan Masui 2019; Bajželj, Quested, Roos, dan Swannell 2020; Skaf, Franzese, Capone, dan Buonocore 2021). Dalam kasus Indonesia, masalah limbah makanan merupakan hal yang sangat penting. Menurut The Economist Intelligence Unit (2017), rata-rata orang di Indonesia menghasilkan sekitar 300 kilogram sampah makanan per tahun. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, limbah makanan menyumbang hampir 40% dari total sampah di Indonesia pada tahun 2020. Laporan terbaru dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia (Bappenas 2021) menunjukkan bahwa di Indonesia sampah makanan yang hilang dan terbuang sekitar 23 -47 juta ton per tahun sejak tahun 2000 hingga 2019. Pengamatan ini menunjukkan urgensi masalah limbah makanan di Indonesia.

Sampai saat ini telah ada beberapa penelitian tentang limbah makanan di Indonesia, sebagian besar berfokus pada sampah makanan di tingkat rumah tangga (Soma 2017a, 2017b, 2020; Pamela et al. 2019; Amir, Hophmayer-Tokich, dan Kurnani 2015). Studi lain di Indonesia meneliti hubungan antara tingkat pengetahuan konsumen dan kesadaran akan limbah makanan (Fox et al. 2018). Hanya beberapa penelitian hingga saat ini yang meneliti pengurangan limbah makanan oleh pelaku bisnis seperti oleh pengelola restoran kecil (Zahara et al. 2019) dan oleh pengelola rantai pasokan (Rombe et al. 2018). Dalam hal ini, limbah makanan tidak hanya dihasilkan oleh sektor rumah tangga, tetapi juga dihasilkan di seluruh rantai pasok industri makanan (Mena, Adenso-Diaz, dan Yurt 2011). Dalam hal ini, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO 2019) melaporkan bahwa sekitar 33% makanan global terbuang di sepanjang rantai pasokan. Temuan ini menunjukkan bahwa produsen dan distributor makanan juga memainkan peran penting dalam menghasilkan limbah makanan. Salah satu cara untuk meminimalkan limbah makanan adalah melalui penerapan strategi dengan memberikan informasi yang memberikan pemahaman tentang ekonomi sirkular (Borrello et al. 2017; Dora 2019; Lehtokunnas et al. 2020; Slorach et al. 2019, 2020; Vilariño et al. al.2017).

Ekonomi sirkular adalah sistem ekonomi di mana, selama mungkin, sumber daya tetap digunakan (Muranko et al. 2018). Konsep tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan suatu objek dan mempertahankan nilainya (Stahel dan MacArthur 2019). Konsep tersebut berawal dari gagasan sirkularitas dalam masyarakat. Pada periode awal umat manusia, sirkularitas merupakan cara paling efektif untuk memanfaatkan sumber daya alam yang langka sebagai strategi untuk menjaga kelangsungan hidup (Stahel dan MacArthur 2019; Melles 2021). Di dunia modern, konsep tersebut telah diadaptasi sebagai kerangka ekonomi, terutama oleh sektor industri untuk mempertahankan nilai dan meningkatkan efisiensi.

Walaupun sistem ekonomi sirkular dapat membawa manfaat, namun beberapa studi menunjukkan bahwa sektor bisnis sering enggan untuk mengadopsi strategi ekonomi sirkular ke dalam model bisnis mereka karena anggapan bahwa implementasinya membutuhkan upaya yang lebih besar daripada proses bisnis yang biasa dijalankan (Pan et al. 2015). Pemilik dan pengelola bisnis sering berasumsi bahwa penerapan ekonomi sirkular akan melibatkan perubahan struktural dalam rantai pasokan dan memerlukan biaya tambahan untuk program pelatihan tenaga kerja dan infrastruktur teknologi. Selain itu, manajer bisnis juga sering menganggap biaya kegiatan restoratif dan regeneratif relatif lebih mahal dibandingkan dengan pemanfaatan bahan baku (Lieder dan Rashid 2016; Singh dan Ordoñez 2016) dan ini mengarah pada biaya produksi yang lebih tinggi (Palm, Nilsson, dan hman , 2016; Shahbazi dkk. 2016).

Kurangnya pemahaman tentang konsep ekonomi sirkular, serta potensi manfaat yang dapat dihasilkan melalui penerapannya, menjadi salah satu penyebab rendahnya adopsi ekonomi sirkular oleh bisnis (EMF 2019). Selain itu, tidak adanya pengalaman secara langsung dan nyata berdasarkan praktik yang sebenarnya sering menyebabkan keengganan untuk mengintegrasikan sirkularitas ke dalam model bisnis. Salah satu cara untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memberikan komunikasi persuasif untuk mendorong perilaku pro-sirkular. Intervensi berdasarkan komunikasi persuasif dapat digunakan untuk mengatasi pemahaman yang kurang memadai tentang masalah ekonomi sirkular, yang mungkin memengaruhi niat perilaku (Liu dan Bai 2014). Komunikasi persuasif adalah salah satu metode yang paling umum diinformasikan oleh teori perilaku terencana (TPB) (Hardeman et al. 2002; Muranko et al. 2018). Mode komunikasi ini melibatkan penyampaian pesan dengan target memberikan keyakinan yang dirancang khusus melalui komponen verbal dan non-verbal (Tessier et al. 2015). Khusus untuk poin ini, Ajzen (2006) berpendapat bahwa pesan yang ditargetkan pada keyakinan dalam komunikasi persuasif membuat pendekatan ini sangat efektif dalam mengubah sikap dan niat individu.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh komunikasi persuasif dalam mendorong perilaku pro-sirkular pada sektor restoran dan retail yang merupakan penghasil sampah makanan terbesar kedua di Indonesia setelah rumah tangga. Kerangka Pro-Circular Change Model (P-CCM) digunakan sebagai kerangka konsep dalam penelitian ini. Model ini dianggap cocok untuk menumbuhkan kesadaran pro-sirkular karena mampu mengidentifikasi perilaku pro-sirkular individu dari perspektif perilaku (Muranko et al. 2018). Data untuk mengukur efektivitas komunikasi persuasif diperoleh melalui tiga tahap penelitian berturut-turut. Pertama, survei pra-intervensi mengumpulkan data tentang persepsi awal responden penelitian yang merupakan pemilik dan pengelola usaha restoran dan retail. Kedua, responden penelitian diekspos dengan intervensi berupa video yang menyampaikan pesan yang ditargetkan pada keyakinan tentang praktik ekonomi sirkular di sektor restoran dan ritel. Tahap ketiga, survei pasca-intervensi diberikan segera setelah paparan video. Hasil uji-t berpasangan, mengukur perbedaan sebelum dan sesudah intervensi, menunjukkan dampak positif dan secara statistik signifikan dari komunikasi persuasif pada sikap individu, kontrol perilaku, dan kesadaran akan masalah lingkungan.

Penulis: Ilmiawan Auwalin, Rumayya, Faradilla Rahma Sari, dan Saskia Rizqina Maulida

Tulisan ini diringkas dari artikel jurnal dengan judul: “Applying the Pro-Circular change model to restaurant and retail businesses’ preferences for circular economy: evidence from Indonesia” yang telah diterbitkan di jurnal Sustainability: Science, Practice and Policy. Artikel jurnal dapat diakses di: https://doi.org/10.1080/15487733.2022.2027121

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp