Pakar UNAIR: Mengurangi Pertumbuhan Kanker Usus Besar dengan Diet Non-Karbohidrat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
ilustrasi oleh istockphoto.com

UNAIR NEWS – Kanker usus besar stadium lanjut (IV) dapat terjadi akibat pengabaian pasien terhadap pengobatan yang mengarah pada penyebaran sel kanker atau sel kanker tidak merespons pembedahan atau kemoterapi. Walaupun pasien sudah diobati dari awal, jika jenis sel kankernya jenis yang sulit, pengobatan yang diberikan dokter tidak memberikan respon. Pasien akan menanyakan obat apa yang akan diberikan kepadanya karena pengobatan yang dilakukan saat ini tidak berhasil. Masih ada harapan bagi pasien ini untuk mencoba diet non-karbohidrat. Alasannya adalah karena sel kanker hanya dapat menggunakan gula sebagai makanan, sel kanker tidak dapat menggunakan protein dan lemak sebagai sumber kalori. Sedangkan sel normal bisa menggunakan segalanya, yaitu karbohidrat, protein dan lemak sebagai sumber kalori.

Dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, Vicky Sumarki Budipramana menjelaskan bahwa berdasarkan kenyataan tersebut maka penderita kanker dianjurkan untuk menjauhi makanan karbohidrat supaya sel kanker dalam tubuhnya mengalami kelaparan dan akhirnya mati. Kenyataan tersebut, sambungnya, dapat dianalogikan dengan pemeriksaan PET Scan pada kanker, dimana bahan yang digunakan pada PET Scan adalah gula yang menjadi makanan sel kanker. Gula yang sudah di marker bahan radioaktif tersebut disuntikkan kedalam pembuluh darah dan akan dimakan oleh sel tumor menyebabkan kadar marker dalam masa tumor tinggi sehingga dapat dideteksi dengan foto CT Scan. Sehingga pemeriksaan PET Scan dapat untuk mendeteksi adanya masa kanker baik kanker primer atau penyebaran kanker nya.

“Diet non-karbohidrat diberikan pada penderita kanker yang sudah tidak dapat diberi pengobatan anti kanker dengan harapan sel kanker mengalami kelaparan dan akhirnya mengkerut. Kebutuhan kalori pada penderita tersebut hanya dipenuhi oleh bahan protein dan minyak dengan perhitungan jumlah kalori yang diperoleh adalah cukup sesuai dengan kebutuhan kalori tubuh dalam sehari,” paparnya. 

Dalam beberapa hari pertama, lanjutnya, pemberian diet non-karbohidrat, penderita akan merasa lapar karena komposisi diet yang berubah dari kebiasaan diet sehari hari, tapi selanjutnya penderita akan beradaptasi dan terbiasa terhadap perubahan komposisi diet ini.

“Niat penderita untuk sembuh dari kanker perlu ditanamkan sehingga penderita dapat patuh pada program diet yang direncanakan. Diet non-karbohidrat adalah aman bagi penderita, diet ini sudah dipakai sebelumnya pada kasus epilepsi dengan hasil baik dan tidak menimbulkan problem serius pada fungsi tubuh,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dokter spesialis bedah itu menyebut jenis makanan yang mengandung karbohidrat antara lain adalah beras, beras merah, kentang, singkong, ketela, roti, tepung, mie dan jenis lain yang merupakan olahan dari bahan tersebut. Kebutuhan kalori yang dibutuhkan oleh penderita dalam sehari akan diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badan, kemudian diperhitungkan jumlah protein dan lemak yang diperlukan tanpa memasukkan bahan karbohidrat.

“Pada penelitian yang kami lakukan, hanya dalam waktu tiga minggu pemberian diet non-karbohidrat terbukti  sudah dapat menurunkan agresivitas sel kanker secara signifikan,” ujarnya.

Ia juga menyebut pemberian diet non-karbohidrat perlu pengawasan dokter, karena harus dapat dijamin bahwa penggantian komposisi diet hanya dari protein dan minyak saja sudah dapat memenuhi kebutuhan kalori dalam 24 jam. Penurunan jumlah asupan karbohidrat, tandasnya, tidak boleh diberikan secara mendadak, tapi perlu dilakukan penurunan secara bertahap untuk memberikan kesempatan tubuh penderita beradaptasi terhadap komposisi diet yang baru. Setelah hari ketiga dilakukan pemeriksaan kadar keton pada kencing untuk memastikan bahwa tubuh penderita sudah dapat menggunakan minyak sebagai sumber kalori.

“Pemecahan minyak dalam tubuh akan menghasilkan keton dimana keton ini akan dibuang oleh tubuh melalui kencing, berarti bahwa tubuh sudah dapat menggunakan minyak sebagai sumber kalori. Pemberian protein dibatasi maksimal 2 gr/kg berat badan untuk menjaga agar ginjal tidak menanggung beban terlalu tinggi dalam peningkatan metabolisme protein,” pungkasnya. (*)

Penulis : Muhammad Suryadiningrat

Editor : Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp