Pengaruh Suhu Selama Inkubasi Telur, Pemeliharaan Larva, dan Produksi Juvenil Purple Mud Crab

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by GenPI co

Kepiting bakau umumnya berasosiasi dengan mangrove dan habitat pesisir di daerah subtropis dan tropis kawasan Indo-Pasifik. Berdasarkan karakter morfometrik dan genetik, Keenan pada tahun 1997 merevisi taksonomi nomenklatur dan mengklasifikasikan genus Scylla menjadi empat, yaitu kepiting bakau ungu (S. tranquebarica), kepiting bakau hijau (S. serrata), kepiting bakau kuning (S. paramamosain) dan kepiting lumpur oranye (S. olivacea). S. tranquebarica merupakan spesies yang sangat baik untuk budidaya, domestikasi, dan peningkatan stok, karena induk tersedia sepanjang tahun, sehingga diharapkan benih kepiting juga mudah diperoleh. Spesies ini telah mendapatkan perhatian konsumen dan sangat dicari karena karakteristik jantan raksasa dengan cakar besar.

Di Malaysia, harga pasar yang ditawarkan untuk kepiting jantan ukuran super S. tranquebarica (700–900 g per ekor) adalah RM 79–85 (ringgit Malaysia) atau sekitar 270-300 ribu rupiah per ekor kepiting. Berat jantan raksasa dari spesies ini bisa mencapai 1,2 kg per kepiting. Ditambah lagi cakarnya yang besar dapat meningkatkan nilai komersial kepiting jantan, harganya bisa mencapai lebih dari 700 ribu rupiah per kg untuk sebuah cakar raksasa dengan berat sekitar 300 g. Sementara itu, kepiting betina yang bertelur dapat meningkatkan nilai pasar dengan harga kepiting telur segar adalah RM 78–90 per kg. Kepiting merupakan sumber protein makanan akuatik yang berharga, dan penangkapan serta budidayanya membantu pertumbuhan ekonomi banyak negara pesisir. Tingginya harga di pasar domestik dan ekspor karena rasanya yang lezat.

Produksi budidaya krustasea lebih difokuskan pada spesies kepiting bakau. Produksi kepiting bakau selama ini masih mengandalkan benih atau juvenil hasil tangkapan alam dikarenakan produksi benih kepiting bakau yang layak dipelihara masih rendah. Hingga saat ini, industri akuakultur hanya menghasilkan benih yang layak dibudidayakan dengan tingkat keberhasilan 10% dari penetasan hingga crablet atau kepiting muda. Di tempat pembenihan terbuka, kelangsungan hidup larva kepiting rentan terhadap perubahan musim, terutama selama musim hujan karena terjadinya penurunan suhu yang sangat kecil sekalipun akan mengakibatkan kematian massal. Sebagaimana ikan, kepiting bakau juga merupakan hewan poikilothermic dimana suhu tubuhnya rekatif berinteraksi dengan suhu lingkungan hidupnya. Pengaturan suhu sangat penting untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva dan juvenil dalam mengatasi efek iklim pada produksi pembenihan kepiting bakau.

Optimalisasi suhu diperlukan selama tahap awal pada telur, larva dan kepiting untuk meningkatkan industri akuakultur dan praktik budidaya. Tujuan studi ini adalah untuk meningkatkan produksi massal benih kepiting bakau ungu (purple mud crab, Scylla tranquebarica) dengan mempelajari hubungan suhu terhadap performa pertumbuhan tahap awal kehidupan kepiting bakau. Beberapa data seperti kelangsungan hidup, durasi inkubasi dan pengukuran morfometrik dievaluasi setelah paparan suhu pada tahap telur, larva, dan crablet. Tahap telur, keberhasilan penetasan yang tinggi dihasilkan pada suhu 28 dan 30°C, masing-masing sekitar 78,95 dan 75,00%. Peningkatan signifikan pada diameter telur akhir sekitar 0,33 mm) setelah telur diinkubasi pada suhu 30℃. Stadium larva, tingkat kelangsungan hidup tertinggi ditemukan ketika larva dipelihara pada suhu 30℃ dan 31°C, masing-masing sekitar 68,79 dan 66,98%. Pengukuran morfometrik terbesar untuk megalopa (CW: 2,80 ± 0,15 mm) dan C1 (CW: 2,86 ± 0,12 mm) diamati pada suhu 31℃. Total juvenil yang dihasilkan pada akhir percobaan larva menunjukkan produksi tertinggi diperoleh pada suhu 31°C, yaitu sekitar 1.095 individu diikuti pada suhu 30°C, yaitu sekitar 1.002 individu. Tahap crablet, crablet mampu bertahan hidup pada kisaran suhu yang luas, yaitu antara 26°C hingga 32°C dengan kelangsungan hidup di atas 95%. Namun, suhu 26℃–29°C menunjukkan pengukuran morfometrik yang lebih besar (CW: 6,24–6,39 mm). Singkatnya, suhu optimal untuk tahap telur, larva dan kepiting direkomendasikan masing-masing dalam 28℃–30℃, 30℃–31℃, dan 26℃–29℃.

Kesimpulannya, rangkaian percobaan ini memberikan dasar dalam pembentukan suhu optimal yang dapat diterapkan untuk industri akuakultur. Pemilihan suhu yang tepat diperlukan untuk memastikan keberhasilan produksi benih kepiting. Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu dapat mempercepat periode inkubasi telur dan durasi intermoult larva dan juvenil dari kepiting bakau.

Penulis: Dr. Akhmad Taufiq Mukti

Afiliasi: Departemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga

Referensi: Hidir A, et al. 2022. Thermal tolerance of purple mud crab, Scylla tranquebarica (Fabricius, 1798), during egg incubation, larval rearing and juveniles’ production. Aquaculture Research, 53(4): 1481–1491. doi:10.1111/are.15682.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp