Ketika Demokrasi Membutuhkan Perempuan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi by Rumah Pemilu

Era demokrasi telah mendorong transparansi, partisipasi publik, dan keterbukaan akses informasi publik, oleh karena itu, humas dianggap sebagai bagian integral dari proses demokrasi. Kajian ini tidak hanya tentang representasi gender, tetapi juga hasil dari pelibatan gender dan kompetensinya dalam posisi manajerial. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan hasil dari mempekerjakan laki-laki dan perempuan dan kompetensi mereka dalam mengelola hubungan masyarakat pemerintah di Indonesia. Survei online terhadap 102 praktisi humas dari berbagai lembaga pemerintah . Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan rumus univariat. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa humas pemerintah telah menerapkan model komunikasi dua arah dan menghasilkan hasil yang sangat baik dalam demokratisasi Indonesia. Temuan menegaskan bahwa demokrasi yang muncul telah mendorong praktik yang efektif dan menantang informasi publik, model sebelumnya yang disediakan lembaga pemerintah. Hasil menunjukkan hasil yang berbeda pada komunikasi dua arah ketika laki-laki atau perempuan mengelola model. Pada level manajerial, praktisi wanita memiliki kompetensi yang tepat untuk menerapkan model pada level yang lebih tinggi daripada pria. Karena isu gender dalam praktik kehumasan pemerintah jarang diteliti, penelitian ini merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk memberikan lebih banyak kesempatan bagi praktisi perempuan sebagai bagian dari manajemen puncak di divisi kehumasan. Pemerintah perlu mengubah mindset bahwa isu gender tidak hanya mempertimbangkan keterwakilan tetapi juga kompetensi mereka.

Salah satu negara yang berjuang dengan demokrasi adalah Indonesia. Gerakan 1998 di Indonesia telah mendorong demokratisasi yang membuka lebih banyak akses publik untuk menyampaikan pendapat. Hal ini mendorong meningkatnya kebutuhan untuk berkomunikasi dengan publik karena publik lebih menuntut keterbukaan informasi (Waymer , 2013). Situasi ini menuntut praktisi government public relations (GPR) untuk menyediakan model komunikasi yang membantu pemerintah menghadapi perubahan yang cepat di masyarakat (Huang, 2004) dan juga untuk melembagakan humas pemerintah sebagai divisi yang kokoh.

Karakteristik demokrasi mendorong praktisi PR untuk mengadopsi model komunikasi transparan, yang menyediakan komunikasi simetris karena model tersebut merupakan standar etika untuk PR yang efektif untuk sebagian besar situasi (Bowen et al., 2010). Model simetris secara inheren etis karena merangsang organisasi untuk memulai perubahan perilaku mereka untuk beradaptasi dengan publik, berbeda dengan hanya mencoba mengubah persepsi, pendapat, dan perilaku publik (Grunig , 2014 ; Huang, 2004).

Penelitian saat ini bertujuan untuk menggambarkan model komunikasi yang dominan diterapkan oleh praktisi GPR di Indonesia dalam konteks: Model mana yang paling banyak diterapkan di era transformasi masyarakat demokratis? Apakah sebagian besar praktisi GPR Indonesia cenderung mempraktekkan model informasi publik, seperti penelitian Grunig dan Hunt (1984) yang disebutkan di atas, atau adakah model khusus lain yang digunakan dalam praktik tersebut?

Selanjutnya, demokrasi dan hubungan masyarakat sangat mempengaruhi isu gender, begitu pula sebaliknya. Demokrasi adalah sebuah sistem untuk mendorong semua orang untuk lebih terlibat dan berpartisipasi sehingga harus mampu membangun kesetaraan dan mengurangi diskriminasi gender dalam praktik kehumasan. Selain itu, penelitian ini juga melihat hubungan antara model komunikasi dan gender yang terlibat dalam proses demokrasi. Penelitian ini juga memperkuat banyak sarjana untuk sering berusaha menilai peran perempuan dalam organisasi dengan menekankan bagaimana dukungan perempuan menciptakan komunikasi yang simetris dan unggul.

Penelitian ini menggunakan survei online. Penulis menggunakan convenience sampling. Salinan kuesioner dikirimkan melalui email kepada praktisi melalui Badan Koordinasi Humas Indonesia dan Kesatuan Humas Indonesia. Setelah disebarkan selama Juli – September 2019, 102 responden (61 laki-laki dan 41 perempuan) setuju untuk mengembalikan salinan kuesioner. Respondennya adalah kepala bagian kehumasan dari beberapa organisasi pemerintah, seperti departemen kementerian (4 praktisi), pemerintah provinsi dan kabupaten (52), perguruan tinggi negeri (16), perusahaan milik negara (16), dan lembaga publik (14 ). Perbedaan jumlah praktisi perempuan dan laki-laki tidak mencerminkan rasio angka yang sebenarnya tetapi semata-mata didasarkan pada praktisi yang bersedia menjadi peserta.

Secara umum, penelitian ini memberikan perhatian khusus pada keterlibatan dengan isu-isu gender dalam hubungan masyarakat dan berkontribusi untuk memperluas teori hubungan masyarakat dengan menegaskan bahwa keempat model telah diterapkan dalam konteks sosial yang berbeda dengan hasil yang berbeda. Penelitian ini menantang budaya patriarki dalam humas dimana praktisi perempuan jika diberi kesempatan menduduki posisi manajerial memiliki kemampuan manajerial yang lebih baik daripada praktisi laki- laki .

Pemerintah Indonesia telah mengembangkan infrastruktur komunikasi dengan baik, termasuk teknologi komunikasi dan konektivitas internet . Peluang yang lebih baik untuk mengakses internet meningkatkan peluang pemerintah untuk berkomunikasi dengan warga. Pada titik ini, pemerintah telah menindaklanjuti dengan menerapkan model komunikasi dua arah di divisi humas . Ini memiliki hasil yang baik dalam komunikasi antara pemerintah dan warga, yang berarti pencapaian itu juga berkontribusi pada perkembangan demokrasi di Indonesia.

Sayangnya, pencapaian hasil tidak sejalan dengan pencapaian dalam isu gender. Penerapan model komunikasi dua arah di Indonesia masih bermasalah dengan ketimpangan gender. Di beberapa divisi humas, praktisi pria masih mendominasi posisi manajerial. Meskipun praktisi wanita atau pria lebih cenderung mempraktikkan komunikasi dua arah daripada komunikasi satu arah, skor rata-ratanya sedikit berbeda . Bahwa praktisi wanita memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi daripada praktisi pria berarti praktisi wanita memiliki kemampuan yang lebih baik untuk melakukan komunikasi dua arah daripada pria.

Temuan ini tidak mengabaikan variabel kompetensi melainkan menegaskan bahwa kompetensi praktisi adalah penting. Praktisi yang bergelar sarjana ilmu komunikasi cenderung mempraktikkan model simetris dua arah, sedangkan praktisi yang memiliki latar belakang pendidikan non-komunikasi cenderung mempraktikkan model asimetris dua arah. Disimpulkan bahwa praktisi wanita yang memiliki gelar dalam studi komunikasi memiliki kemampuan yang lebih baik untuk melakukan dua komunikasi yang jauh lebih baik daripada laki-laki yang memiliki gelar dalam studi komunikasi.

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menggeneralisasi data karena hanya melibatkan 102 responden sehingga hasilnya tidak dapat diekstrapolasikan ke konteks nasional. Perlu dicatat bahwa responden tidak mewakili seluruh GPR di Indonesia selama periode pengumpulan data karena mereka dipilih dalam penelitian berdasarkan pertimbangan aksesibilitas. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan untuk melakukan survei nasional untuk menangkap Praktik GPR secara lebih komprehensif dan untuk mencapai tingkat generalisasi data yang lebih baik. Penulis juga merekomendasikan untuk melakukan penelitian kualitatif untuk menyajikan deskripsi yang tebal mengenai perasaan, motif, pendapat para praktisi , dan juga mengeksplorasi latar belakang budaya, ekonomi, hubungan kekuasaan, dan sosial karena temuan yang disajikan di sini tidak membahas secara mendalam. menyelidiki pengaruh ekonomi, politik, dan sosial budaya temuan ini. Perlu dicatat bahwa keterbatasan penelitian keunggulan kuantitatif menantang untuk menangkap lingkungan yang lebih luas yang mempengaruhi praktik GPR karena hanya berfokus pada perspektif GPR.

Banyak bidang yang masih perlu ditemukan di masa depan karena studi kehumasan di Indonesia masih dalam tahap awal. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat memperluas studi kehumasan dalam konteks Indonesia dengan membandingkan model komunikasi yang diterapkan oleh praktisi humas antara sektor swasta dan pemerintah karena kedua organisasi tersebut sama-sama dituntut untuk memperkuat reputasi positif mereka dalam demokrasi dan era transparansi. Lebih lanjut, penelitian ini menggambarkan beberapa karakteristik praktisi GPR di Indonesia, termasuk latar belakang pendidikannya. Akhirnya, akar dari karakteristik ini dapat diselidiki lebih lanjut dalam penelitian masa depan untuk memberikan kontribusi yang lebih luas di bidang hubungan masyarakat.

Penulis: Rachmah Ida

Link article: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2405844022000020

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp