Pakar UNAIR Soroti Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi by IDC

UNAIR NEWS – Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas mencanangkan bahwa 2022 adalah sebagai tahun toleransi. Hal ini bertujuan agar Indonesia dipandang menjadi barometer kehidupan harmoni dalam keberagaman. Momentum ini menjadikan tim redaksi untuk mewawancarai Pakar Pluralisme Hukum UNAIR Joeni Arianto Kurniawan, Ph.D, untuk merefleksikan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Joeni menuturkan bahwa Indonesia masih memiliki problematika yuridis yang fundamental sehingga membatasi penghormatan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Problem itu dapat ditemui di Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, dimana HAM dapat dibatasi nilai-nilai agama. Menurutnya logika dari pasal itu terbalik, padahal seharusnya HAM yang dapat menaungi dan membatasi ekspresi agama dan keyakinan seseorang.

“Pasal tersebut membuka ruang interpretasi oleh Mahkamah Konstitusi untuk tetap mempertahankan eksistensi suatu draconian law yakni UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Padahal konsep penodaan agama dengan hate speech itu berbeda, yang tidak dibolehkan itu hate speech. Tetapi, dalam konteks mengkritisi kepercayaan/agama, yang itu merupakan suatu ide, adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Masa ide tidak boleh dikritisi?” ujar Direktur CleP itu pada UNAIR NEWS (11/2).

Contoh lain yang diberikan adalah pemberlakuan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya terkait qanun jinayat berupa hukum cambuk. Menurutnya, penghormatan HAM tidak seharusnya dikesampingkan demi memberikan kekhususan pemerintahan daerah.

Joeni juga mengkritisi bagaimana Presiden Joko Widodo masih belum melakukan banyak hal dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurutnya, Jokowi memiliki wewenang untuk mencabut UU Penodaan Agama melalui Perppu, atau setidaknya melunakkan norma-normanya. Ia juga bisa memberikan instruksi pada menteri-menterinya, untuk mencabut Peraturan Bersama Tata Cara Pendirian Rumah Ibadah dan SKB Jemaat Ahmadiyah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas. 

“Jokowi juga dapat memberikan instruksi pada Kejaksaan Agung dan Kepolisian untuk melakukan dekriminalisasi terhadap orang yang terkena delik penodaan agama. Tetapi, menurut saya itu impian yang terlalu jauh,” tekan alumni University of Pisa itu.

Menurut Joeni, populisme dan impuls oportunis dalam partai politik adalah alasan mengapa terdapat keengganan dalam melakukan langkah-langkah progresif. Ia menjelaskan bahwa terdapat partai politik yang mengakomodir narasi-narasi fundamentalisme Islam yang intoleran demi popularitas. Joeni menambahkan bahwa kebetulan kelompok tersebut berada dalam oposisi pemerintah.

“Sementara kelompok pendukung pemerintah memandang mereka sebagai musuh politik. Sehingga, narasi-narasi balik berupa waspada intoleransi hanya didasari oleh alasan politik saja. Jatuhnya adalah pelabelan-pelabelan seperti ‘kadrun’ atau ‘taliban,’ yang berujung pada pembunuhan karakter lawan politik. Jadi, tak ada upaya pembongkaran sistemik agar dapat menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan,” tuturnya.

Solusi agar sistem hukum Indonesia dapat mengakomodir kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah pendekatan interkulturalisme. Joeni mengatakan bahwa pendekatan tersebut bergerak lebih jauh daripada sekadar pengakuan terhadap hak-hak suatu kelompok agama, namun juga penyambungan antara kelompok yang berbeda tersebut. 

“Disadari atau tidak, masyarakat kita masih cenderung tersegregasi antar kelompok agama. Ini rentan memunculkan covert animosity, yakni adanya kebencian terselubung terhadap suatu kelompok tertentu (biasanya mayoritas ke minoritas). Awalnya mungkin kelihatan tenteram-tenteram saja, tetapi bila ada momentum untuk memanifestasikan kebencian maka akan termanifestasi kebencian itu,” tutur lektor itu.

Penyambungan tersebut berarti bahwa suatu lingkungan harus memiliki komposisi masyarakat yang plural, contohnya di tempat kerja atau di sekolah. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan harus mendukung terwujudnya pluralisme dalam masyarakat. Menurutnya, hal ini krusial agar dialog interkultural antara kelompok agama dapat termanifestasi. 

“Tak kenal maka tak sayang kan? Bagaimana mungkin kita bisa saling mengenal apabila tidak ada dialog interkultural itu. Dialog itu hanya dapat terjadi dalam masyarakat interkultural (intercultural society). Menurut saya, itu yang harus segera dirintis di Indonesia,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp