Koinfeksi COVID-19 dan Pneumocystis Jirovecii Pneumonia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi by SehatQ

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) telah ditetapkan sebagai pandemi global oleh World Health Organization (WHO) yang saat ini menjadi tantangan utama fokus masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Koinfeksi SARS-CoV-2 dengan mikroorganisme lain, termasuk jamur dapat menyebabkan kesulitan diagnosis dan prognosis yang buruk.

Pneumocystis jirovesii pneumonia (PJP) umumnya merupakan infeksi opportunistik pada pasien dengan human immunodeficiency virus (HIV). Namun, terkadang diagnosisnya diketahui terlambat dan baru diketahui saat melakukan pemeriksaan foto toraks. Beberapa orang tidak mengetahui bahwa mereka terinfeksi HIV karena beberapa gejala HIV mungkin tidak muncul dalam beberapa tahun, selanjutnya diagnosis HIV baru ditemukan ketika tahap infeksi telah berlanjut bersamaan dengan diagnosis PJP.

Kami melaporkan seorang pria berusia 24 tahun yang datang dan dirawat di rumah sakit dengan gejala demam, batuk, nyeri tenggorokan, dan sesak napas. Hasil reverse transcriptase- polymerase chain reaction (RT-PCR) menunjukkan positif SARS-CoV-2. Foto toraks awal menunjukkan gambaran ground-glass opacity diffuse bilateral yang dicurigai COVID-19 dengan diagnosis differensial Pneumocystis jirovesii pneumonia (PJP). Karena ada gambaran PJP dari hasil foto toraks, maka dilakukan tes HIV. Hal ini karena PJP sangat umum ditemukan pada pasien HIV sebagaimana PJP merupakan infeksi opportunistik pada pasien dengan immunocompromised. Tes HIV dilakukan karena informasi pasien terkait HIV pada pasien belum diketahui.

Hasil tes HIV pada pasien menunjukkan reaktif, sehingga diagnosis PJP dikonfirmasi berdasarkan hasil foto toraks dan tes HIV. Konfirmasi diagnosis ini dilakukan tanpa mengambil spesimen pernapasan pada pasien untuk diagnosis PJP karena rumah sakit tempat pasien merupakan rumah sakit tipe C dimana tidak tersedia uji mikroskopik atau Bronchoalveolar Lavage Fluid (BALF). Selain itu, konfirmasi diagnosis PJP juga dilakukan karena metode BAL dan induksi dahak untuk memperoleh spesimen dari saluran pernapasan diketahui merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol atau percikan yang meningkatkan risiko penularan COVID-19.

Pengobatan untuk COVID-19 diutamakan untuk pasien ini dengan pemberian remdesivir, heparin, vitamin D, vitamin C, metilprednisolon, dan oksigen simple mask. Pengobatan untuk PJP dilakukan dengan pemberian kotrimoksazol. Evaluasi foto toraks serial menunjukkan adanya perbaikan, dan hasil RT-PCR menunjukkan hasil negatif pada hari ke-10 rawat inap. Pasien selanjutnya melakukan rawat jalan setelah perawatan 25 hari di rumah sakit dan dimulai pengobatan untuk HIV.

Kasus pada pasien ini menunjukkan bahwa temuan radiologi yang menunjukkan COVID-19 dan PJP berperan penting untuk pengambilan keputusan dilakukannya tes HIV. Selanjutnya, tes HIV pada pasien COVID-19 dapat dipertimbangkan sebagai bagian skrining pada pasien dengan gambaran PJP, terutama pada pasien dengan status HIV yang belum diketahui. Penentuan pemberian kortikosteroid dengan dosis yang tepat sangat penting untuk pengobatan COVID-19 dan PJP dengan gejala klinis yang berat. Diagnosis yang komprehensif dan pengobatan yang tepat sangat penting, baik untuk infeksi primer maupun sekunder dalam situasi pandemi seperti saat ini untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.

Penulis: Dr. Soedarsono, dr., Sp.P(K)

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1930043321006488?via%3Dihub

Amelia Tantri Anggraeni, Soedarsono Soedarsono, Bambang Soeprijanto. Concurrent COVID-19 and Pneumocystis jirovecii pneumonia: The importance of radiological diagnostic and HIV testing. Radiology Case Reports. 2021; 16(12): 3685-3689. https://doi.org/10.1016/j.radcr.2021.09.002

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp