Mengenal Jenis dan Cara Hadapi Duck Syndrome di Kalangan Millenial

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: beautynesiaid

UNAIR NEWS – Sebagian besar orang berusaha untuk tampil tenang dan nampak baik-baik saja di khalayak ramai. Namun di balik itu semua, mereka sedang menghadapi banyak pergulatan dan menutupi perasaan takut yang ada di dalam dirinya. Kondisi tersebut disebut dengan duck syndrome.

Dari sudut pandang psikologi, Pakar Psikologi UNAIR Margaretha Rehulina, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc. menuturkan bahwa di dunia klinis tidak memakai istilah duck syndrome. Menurutnya duck syndrome bukanlah diagnosa klinis.

Duck syndrome, lanjutnya, merupakan terminologi yang digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena populer. Istilah duck syndrome pertama kali dimulai di Stanford University, salah satu universitas terkenal di dunia karena mayoritas mahasiswanya merupakan mahasiswa-mahasiswa pilihan.

Pada tahun pertama, biasanya mahasiswa Stanford menampilkan diri seperti bebek (duck). Di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat. Mereka berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perjuangan yang besar.

“Supaya tidak terlihat kalah, maka mereka harus bersikap seperti bebek yang tenang padahal di balik itu semua sedang mengalami perjuangan, kegelisahan, dan ketakutan,” tuturnya.

Duck syndrome dapat terjadi karena adanya persoalan yang muncul ketika seseorang sedang berusaha menyesuaikan diri di lingkungan baru. Hal tersebut akan menjadi masalah apabila apa yang ditampilkan sangat berbeda dengan yang sebenarnya dirasakan.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (FPsi UNAIR) itu menyebutkan bahwa secara umum ada tiga jenis duck syndrome yang sering dialami oleh milenial. Cara menghadapi duck syndrome juga berbeda-beda tergantung pada jenis duck syndrome yang dialami.

Pakar Psikologi UNAIR Margaretha Rehulina, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc. (Dok. Pribadi)

Menipu Diri Demi Terlihat Sukses

Duck Syndrome yang pertama sering dialami oleh orang yang menampilkan diri di sosial media terlihat glamor, sukses, dan bahagia. Padahal di balik itu, dia harus berhutang atau bekerja dengan sangat keras.

Tips menghadapinya adalah dengan lebih jujur untuk dapat menerima diri sendiri. Apa yang dimiliki saat ini adalah hal yang terbaik untuk dirinya. Tidak perlu berpura-pura dan menipu diri di sosial media untuk menampilkan kesuksesan walaupun sebenarnya itu bukan gambaran dirinya.

“Poinnya adalah menerima diri sendiri agar bisa menjadi pribadi yang otentik,” jelasnya.

Struggle Alone

Duck syndrome yang kedua dialami oleh orang yang ingin terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya mereka sedang mengalami banyak masalah. Jenis duck syndrome ini yang paling berbahaya karena terkait dengan persoalan mood seperti depresi atau gangguan kecemasan lainnya.

Adapun tips menghadapinya yaitu dengan membantu mereka untuk memahami persoalan yang sedang terjadi pada dirinya. Kita juga perlu mengajarkan kepada mereka untuk jangan sungkan meminta bantuan. Mereka perlu dibantu dengan cara diberi penjelasan mengenai kesehatan mental dan cara mengupayakan agar sehat secara mental.

“Kita hanya butuh minta bantuan kepada orang yang profesional atau keluarga untuk membantu persoalan yang dia alami. Jangan menutupi persoalan yang sedang dihadapi dan tidak apa-apa meminta bantuan orang lain,” terangnya.

Membandingkan Diri dengan Orang Lain

Duck Syndrome ini dialami oleh mereka yang di dalam kepalanya ingin berhasil sehingga ia menampilkan dirinya berhasil. Namun yang sebenarnya terjadi adalah ia sangat kewalahan bahkan tidak mampu untuk mencapai tujuannya karena sudah melampaui batas kemampuan.

Hal tersebut terjadi karena ia membandingkan diri dengan sesuatu yang di luar kemampuannya sendiri. Mereka perlu diajak untuk berhenti melakukan perbandingan yang tidak realistis.

“Jadi, tipsnya adalah berusaha untuk bisa menerima kondisi dirinya dan berusaha membuat tujuan hidup yang lebih realistis. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara berhenti membandingkan diri dengan orang lain,” pungkasnya. (*)

Penulis : Sandi Prabowo

Editor  :  Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp