Kadar Beta Endorfin Plasma Pasca Terapi Nyeri Who 3-Stepladder Penderita Karsinoma Nasofaring

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh iStock

Nyeri merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari dalam penatalaksanaan karsinoma termasuk karsinoma nasofaring. Berdasarkan data KNF  merupakan keganasan terbanyak di bidang THT-KL. Sebagian besar datang ke RSUD Dr.Soetomo pada stadium lanjut yang sering disertai keluhan nyeri kepala. KNF termasuk dalam sepuluh penyakit keganasan terbanyak yang dikonsulkan untuk penanggulangan nyeri kanker menurut data rekam medis Poloklinik Bebas Nyeri RSUD Dr.Soetomo Surabaya tahun 2000-2004. Nyeri kanker yang berkepanjangan akan dapat mengganggu aktifitas fisik, sosial dan pekerjaan penderita serta menurunkan kualitas hidupnya. Oleh sebab itu perbaikan kualitas hidup bagi penderita KNF dilakukan juga perawatan paliatif yang termasuk tindakan aktif menghilangkan nyeri kanker. Sebagai dokter THT-KL yang terlibat langsung dalam penanganan penderita KNF, tampaknya penanggulangan nyeri kanker merupakan aspek penting disamping upaya kuratif. Penanganan nyeri yang optimal sesuai dengan standar WHO diharapkan dapat menanggulangi nyeri kanker sebesar  80 – 90%.

Penelitian ini yang dilakukan bertujuan mendukung program penanggulangan nyeri kanker oleh WHO, dengan mengkhususkan pada penderita KNF, yaitu mengevaluasi perubahan derajat nyeri dan perubahan kadar beta endorfin plasma untuk mengetahui efek terapi terhadap kedua parameter tersebut.

Penelitian ini dilakukan pada penderita karsinoma nasofaring stadium lanjut (III dan IV) yang berobat di URJ THT-KL , Poli Onkologi Satu Atap  THT-KL, dan Instalasi Rawat Inap Bedah Teratai RSUD Dr.Soetomo Surabaya mulai Februari 2011 hingga April 2011 dan didiagnosis secara klinis maupun histopatologis serta memenuhi kriteria inklusi mengisi kuisioner BPI, kemudian ditentukan derajat nyeri kanker. Kemudian diambil sampel darah dari vena kubiti penderita menggunakan tabung vakum sebanyak 10 mililiter dan secepatnya (1 jam) dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya untuk diperiksa kadar beta endorfin plasma I. Penderita diberikan terapi sesuai derajat nyerinya (ringan, sedang atau berat) berdasarkan prinsip WHO 3-step analgesic ladder. Penderita datang kontrol hari ke-4 untuk dievaluasi mengisi kuisioner BPI dan ditentukan derajat nyerinya. Selanjutnya diambil sampel darah 10 mililiter untuk diperiksa kadar beta endorfin plasma II.

Pemilihan sampel dilakukan berdasarkan consecutive sampling sampai besar sampel terpenuhi yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 45×2= 90 sampel darah yang diambil dari 45 subyek. Penelitian ini merupakan uji klinis pra-eksperimental dengan rancang bangun pre dan post test design without control, dilakukan uji analisis statistik signifikan bila p < 0,05.

Hasil penelitian ini didapatkan derajat nyeri pada sampel pada kelompok tidak nyeri dari berubah dari 0 orang menjadi 6 orang, kelompok ringan dari sebanyak 5 orang menjadi 30 orang, kelompok sedang dari 37 orang menjadi 9 orang, dan kelompok berat dari 3 orang sesudah terapi menjadi 0 orang. Berdasarkan uji Wilcoxon didapatkan p=0,000. Berarti perubahan derajat nyeri sebelum dan sesudah terapi tersebut bermakna (p< 0,05).

Rerata kadar beta endorfin plasma sebelum terapi sebesar 74,89 (SD=69,12) dan sesudah terapi sebesar 72,49 (SD=75,53). Berdasarkan uji t sampel berpasangan didapatkan p=0,647. Berarti kadar beta endorfin plasma sebelum dan sesudah terapi  didapatkan perubahan yang tidak bermakna (p>0,05).  Sedangkan hasil kadar beta endorfin pada kelompok derajat nyeri ringan sebelum terapi sebesar 56,56 (35,48) dan sesudah terapi sebesar 37,38 (26,0). Rerata kadar beta endorfin derajat nyeri sedang sebesar 78,70 (74,92) dan menjadi sebesar 80,12 (80,9) sesudah terapi, dan pada kelompok derajat nyeri berat sebesar 58,47 (6,27) menjadi 36,83 (18,05) sesudah terapi. Berdasar uji t sampel berpasangan didapatkan masing-masing nilai  p= 0,321 pada derajat ringan, p=0,805 pada derajat sedang dan p=0,235 pada derajat berat. Berarti kadar beta endorfin plasma masing-masing kelompok sebelum dan pasca terapi didapatkan perubahan yang tidak bermakna (p>0,05).

Hubungan derajat nyeri dengan  kadar beta endorfin plasma sebelum terapi dengan uji korelasi Spearman diperoleh hasil tidak bermakna (p=0,717). Berarti , pada penderita KNF stadium lanjut tidak didapat hubungan antara derajat nyeri dan  kadar beta endorfin plasma (p> 0,05). Hubungan derajat nyeri dengan  kadar beta endorfin plasma sesudah terapi dengan uji korelasi Spearman diperoleh hasil tidak bermakna (p=0,213). Berarti , pada penderita KNF stadium lanjut tidak didapat hubungan antara derajat nyeri dan  kadar beta endorfin plasma sesudah terapi nyeri kanker  (p> 0,05). Hubungan perubahan derajat nyeri dengan  perubahan kadar beta endorfin plasma sebelum dan sesudah terapi pada total sampel dengan uji korelasi Spearman diperoleh hasil tidak bermakna (p=0,236). Berarti , pada penderita KNF stadium lanjut tidak didapat hubungan antara perubahan derajat nyeri dan  perubahan kadar beta endorfin plasma sebelum dan sesudah terapi (p> 0,05).

Kesimpulan penelitian ini yaitu tidak didapatkan hubungan antara penurunan derajat nyeri dengan peningkatan kadar beta endorfin plasma pada penderita kanker  nasofaring stadium lanjut.

Penulis: Diar Mia Ardani

Link Jurnal: https://www.thieme-connect.de/products/ejournals/abstract/10.1055/s-0041-1740108

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp