Evaluasi Pemberian Terapi Kemoprofilaksis pada Anak Usia Sekolah dengan Kusta Subklinis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi kusta pada anak. Sumber: gatracom

Penyakit kusta saat ini masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Pada tahun 2015, Indonesia masuk dalam 3 besar negara di dunia dengan kasus kusta terbanyak, bersama dengan India dan Brazil, serta menyumbangkan setidaknya lebih dari 10.000 kasus baru kusta atau berkontribusi sekitar 8 persen kasus baru kusta di seluruh dunia. Kasus kusta pada anak merupakan kasus kusta yang umum dijumpai di negara endemis, yang mana pasien kusta anak (pasien kusta berusia dibawah 15 tahun) menandakan adanya rantai penularan dan sirkulasi kuman Mycobacterium leprae yang aktif dalam komunitas, sehingga hal tersebut menunjukkan adanya sistem kesehatan nasional yang tidak efisien.

Permasalahan yang penting pada kusta anak adalah pencegahan terjadinya kecacatan dan deformitas melalui deteksi dini serta memaksimalkan pemberian terapi kusta di daerah endemis kusta. Saat ini kusta pada anak, khususnya kusta sublikinis menjadi masalah baru di daerah endemis kusta, mengingat terapi kusta saat ini hanya berfokus pada kasus-kasus kusta yang telah terdiagnosis secara klinis, tetapi belum menjangkau kasus-kasus kusta subklinis, yang justru kemungkinan besar kusta subklinis tersebut merupakan sumber infeksi kusta di komunitas.

Kusta subklinis dapat diartikan sebagai kondisi pada seorang individu dengan gangguan sistem imun yang tidak mampu untuk melawan kuman M.leprae secara tuntas sehingga jatuh dalam kondisi kusta subklinis. Hal yang patut diperhatikan adalah bahwa kusta subklinis ini dapat berkembang menjadi kusta klinis dalam durasi waktu 2−10 tahun, tergantung pada status imun individu tersebut. Hasil dari International Leprosy Congress di Hyderabad pada tahun 2008 menunjukkan bahwa sebanyak 1.5 persen kasus kusta subklinis akan berkembang menjadi kusta secara klinis dalam waktu 1 tahun, dan meningkat menjadi 6 persen pada durasi 4 tahun berikutnya. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang penting untuk dapat mencegah progresifitas kusta subklinis menjadi kusta klinis, yang mana kasus kusta klinis menjadi lebih infeksius dan sangat berpotensi lebih mengganggu kualitas hidup pasien.

Melihat kondisi diatas maka menjadi sangat penting untuk mencegah transmisi penyakit kusta di masyarakat dengan melakukan pemeriksaan skrining kusta yang sensitif dan spesifik. Tes serologis, yakni pemeriksaan anti PGL-1, merupakan tes serologis yang banyak digunakan untuk mendeteksi kusta subklinis. Deteksi anti PGL-1 dapat digunakan untuk diagnosis, prediksi terjadinya rekurensi serta identifikasi resiko terjadinya persebaran infeksi antar individua atau persebaran dalam komunitas. Hasil penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Penna dan kawan-kawan menunjukkan bahwa persebaran infeksi dari pasien dengan kusta klinis, meningkat 3 kali lipat resiko persebarannya di antara individu yang memiliki anti PGL-1 positif dibandingkan persebarannya di antara individu yang anti PGL-1 nya negatif. Lebih lanjut pada penelitian yang lain menunjukkan bahwa narakontak kusta dan populasi di daerah endemis kusta dengan seropositif IgM anti PGL-1 memiliki resiko relatif 6 kali lipat lebih besar untuk menderita kusta pada evaluasi selama 6−10 tahun berikutnya.

Berbagai jenis pendekatan terapi kemoprofilaksis telah menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk pencegahan terjadinya infeksi kusta maupun kusta subklinis. Rejimen kemoprofilaksis menggunakan rifampisin dosis tunggal saat ini telah diterapkan di Indonesia, India maupun di beberapa negara ASEAN. Hasil dari penggunaan kemoprofilaksis rifampisin dosis tunggal sayangnya hanya mampu menurunkan insidens kusta sebesar 57 persen saja. Efektifitas rejimen kemoprofilaksis tersebut diketahui lebih efektif untuk narakontak sosial dibandingkan dengan efektifitasnya pada narakontak dekat pasien kusta. Hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan kepadatan kuman, yang memang lebih tinggi pada narakontak dekat dibandingkan narakontak sosial. Kemoprofilaksis rifampisin dosis tunggal seyogyanya diberikan pada seluruh komunitas yang luas mengingat efek yang terjadi dari pemberian kemoprofilaksis tersebut adalah efek pada komunitas. Rejimen kemoprofilaksis yang diperbarui menambahkan obat yang lebih kuat dan lebih efektif untuk membunuh kuman pada individu kusta subklinis yang memiliki kepadatan kuman yang tinggi.

Obat antibiotika klaritromisin diketahui memiliki efek bakterisidal terhadap M.leprae dan memiliki peran yang penting dalam terapi kusta yang resisten terhadap rifampisin. Klaritromisin mampu menembus makrofag dan leukosit, yang merupakan target dari M.leprae. Dengan demikian kombinasi rifampisin dan klaritromisin diharapkan mampu mengobati dan mengontrol individu dengan kusta subklinis. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas terapi kemoprofilaksis yang berupa kombinasi obat rifampisin dan klaritromisin pada anak-anak usia sekolah dengan kusta subklinis di daerah endemis di Jawa Timur, yakni di Nguling  (Pasuruan) dan Raas (Sumenep) selama periode 5 tahun pengamatan.

Pada penelitian ini dilakukan skrining pada 2.548 anak-anak usia sekolah yang sehat di Nguling dan di Raas, didapatkan 200 anak (79 dari Nguling) dan 121 (dari Raas) memiliki hasil seropositif IgM anti PGL-1. Anak-anak dengan hasil seropositif IgM anti PGL-1 mendapatkan rejimen kemoprofilaksis berupa rifampisin 300 mg/hari dan klaritromisin 250 mg/hari, setiap hari selama 10 hari pertama kemudian mendapatkan rejimen yang sama tiap 2 minggu selama 3 bulan. Pengamatan selama periode 5 tahun dilakukan melalui pemeriksaan klinis dan serologis setiap tahunnya untuk melihat ada tidaknya kejadian kusta klinis baru setelah pemberian kemoprofilaksis. Selama periode pengamatan 5 tahun, hanya sebanyak 98 anak (49 persen) dari 200 anak dengan seropositif IgM anti PGL-1 yang memiliki data pengamatan yang lengkap, terdiri atas 33 anak dari Nguling (41.8 persen) dan 65 anak dari Raas (53.7 persen).

Hasil penelitian ini menunjukkan rejimen kemoprofilaksis, rifampisin dan klaritromisin, dapat ditoleransi dengan baik oleh seluruh anak yang menerima obat tersebut dan hanya sedikit efek samping saja yang dilaporkan terkait pemberian rifampisin dan klaritromisin. Setelah pengamatan selama periode 5 tahun didapatkan hasil tidak ada anak-anak dengan kusta subklinis yang mendapat terapi kemoprofilaksis, yang berkembang menjadi kusta klinis. Rata-rata kadar IgM anti PGL-1 anak-anak tersebut mengalami penurunan yang bermakna selama periode tahun 2011−2015, yakni masing-masing di Nguling dari rata-rata 1,066.72 menjadi 137.44 U/ml dan di Raas dari rata-rata 773.12 menjadi 563.40 U/ml. Proporsi pasien dengan penurunan antibodi IgM anti PGL-1 di Nguling dan Raas secara konsisten lebih tinggi dibandingkan proporsi pasien dengan peningkatan kadar IgM anti PGL-1 di sepanjang tahun 2011−2015, terkecuali hasil pada tahun 2013−2014.

Penelitian ini menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk terjadinya penurunan kadar rata-rata IgM anti PGL-1 setiap tahun selama 5 tahun dengan pemberian terapi kemoprofilaksis, berupa kombinasi rifampisin dan klaritromisin. Hasil penelitian oleh Moet dan kawan-kawan terhadap pemberian kemoprofilaksis rifampisin dosis tunggal menunjukkan efek protektif kemoprofilaksis rifampisin hanya selama 2 tahun pertama. Hasil yang berbeda pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena adanya penambahan obat klaritromisin. Efek bakterisidal dari klaritromisin pada makrofag dapat memperbaiki respon imun individu, menurunkan jumlah kuman M.leprae dan mencegah terjadinya kusta klinis.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya penentuan dosis rifampisin dan klaritromisin tidak didasarkan pada berat badan dan usia anak, akan tetapi menggunakan perhitungan dosis berdasar rentang usia, untuk lebih memudahkan pelaksanaan penelitian ini di lapangan namun hasilnya masih cukup valid untuk dilakukan analisis.

Sebagai kesimpulan akhir, terapi kemoprofilaksis pada anak-anak dengan kusta subklinis menunjukkan efektifitas dan hasil yang baik selama periode pengamatan 5 tahun dan rejimen kemoprofilaksis yang digunakan dapat ditoleransi dengan baik. Setelah pengamatan selama 5 tahun, tidak ada anak dengan kusta subklinis yang berkembang menjadi kusta klinis, sehingga rejimen kemoprofilaksis ini dapat dipertimbangkan untuk digunakan di masa mendatang sebagai terapi profilaksis pada kusta subklinis terutama pada anak-anak. (*)

Penulis : Cita Rosita Sigit Prakoeswa

Informasi lengkap dari artikel ini dapat dilihat pada :https://www.spandidos-publications.com/10.3892/br.2021.1464

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp