Nada Pesimis dalam Pengumuman Laba dan Pengungkapan CSR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Pinterest

Transparansi pengungkapan informasi perusahaan diperlukan untuk meminimalkan asimetri informasi (Mallin, 2019), terutama di negara berkembang seperti Indonesia yang tingkat daya saing bisnisnya rendah. Berdasarkan IMD Release ITS 2016 World Competitiveness Rankings, Indonesia menempati peringkat ke-48 dari 61 negara. Data juga menunjukkan bahwa banyak sektor industri didominasi oleh perusahaan pemimpin pasar tertentu, dengan total aset lebih dari 30% di sektor industri (KPPU, 2016). Perusahaan di negara-negara dengan daya saing bisnis yang rendah, seperti Indonesia, cenderung menutupi kelebihan informasi dari pihak luar untuk menghindari pengawasan pemerintah dan investor (Kothari, 2009). Hal ini mengakibatkan tingkat transparansi yang rendah dan masalah asimetri informasi.

Adanya peraturan OJK Nomor 29/POJK/K.04/2016 yang mewajibkan perusahaan publik untuk melaporkan MD&A meningkatkan tingkat transparansi dan mengurangi asimetri informasi, karena laporan merupakan alat komunikasi bagi pihak lain. Alasan seorang manajer menggunakan nada pesimis saat menjelaskan pengumuman laba adalah karena mereka mengantisipasi risiko penurunan kinerja keuangan ketika faktor ekonomi dan non-ekonomi berubah, dibandingkan dengan prediksi dalam laporan MD&A sebelumnya. Nada pesimistis menunjukkan tingkat transparansi yang lebih baik, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Di sisi lain, penggunaan nada pesimis dalam pengumuman laba dapat menandakan penurunan kinerja, yang dapat mengurangi citra dan legitimasi perusahaan (Augusta & DeAngelis, 2020). Untuk menutupinya, perusahaan melakukan pengungkapan sukarela (misalnya pengungkapan CSR), baik untuk aspek keuangan maupun non-keuangan, untuk memberikan kesan transparansi (Gavana, 2017). Pengungkapan CSR adalah alat yang efektif untuk memperkuat citra perusahaan [18], mengelola risiko reputasi, dan mengurangi potensi kesenjangan legitimasi. Menggunakan pengungkapan CSR yang lebih baik akan membantu perusahaan menutupi risiko penurunan kinerja keuangan, dapat mengalihkan perhatian pemangku kepentingan, dan menjaga reputasi perusahaan.

Metode dan Hasil

Saya berkolaborasi dengan Iman Harymawan, Nurul Fitriani, dan Brian Lam menganalisis hubungan antara nada pesimis dalam pengumuman laba dan pengungkapan CSR yang kemudian diinteraksikan dengan kesibukan CEO. Penelitian ini menggunakan 191 observasi dari 74 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan database Global Reporting Initiative (GRI) dari 2016–2019. Berdasarkan teori sinyal, kami berhipotesis bahwa nada pesimis dalam pengumuman laba akan meningkatkan pengungkapan CSR dan CEO yang sibuk dapat memperkuat hubungan ini. Kesibukan CEO adalah bagian yang menarik dan vital dari pasar Indonesia, di mana 50% CEO perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia memiliki beberapa posisi di perusahaan lain (Harymawan et al., 2019). CEO yang sibuk cenderung tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena keterbatasan energi dan waktu, sehingga mendorong penggunaan nada pesimis yang lebih kuat sebagai sinyal bahwa kinerja perusahaan sedang menurun. Di sisi lain, sebanyak 49% perusahaan publik di Indonesia tidak memiliki kepedulian untuk mengungkapkan informasi CSR dalam laporan tahunan mereka. Kondisi ini dapat mendorong pengungkapan CSR menjadi praktik greenwashing yang dilakukan perusahaan untuk menutupi penurunan reputasi perusahaan karena manajemen menggunakan bahasa pesimis dalam laporan MD&A. Oleh karena itu, kami termotivasi untuk menyelidiki apakah perusahaan akan meningkatkan pengungkapan CSR ketika nada pesimistis digunakan dalam laporan MD&A.

Penelitian kami menggunakan ordinary least square untuk menganalisis dan menjawab hipotesis kami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan nada pesimis dalam laporan laba rugi dalam laporan management discussion and analysis (MD&A) berhubungan positif dan signifikan dengan pengungkapan CSR. Penelitian kami juga menemukan bahwa CEO yang sibuk memperkuat hubungan tersebut.

Penelitian ini berkontribusi pada literatur tentang pengungkapan naratif dan pengungkapan keberlanjutan. Kemudian mencoba menjelaskan hubungan antara nada pesimis dalam pengumuman laba dan pengungkapan CSR. Ini membantu pengguna mengidentifikasi nada atau gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan narasi laporan laba rugi dalam laporan MD&A. Faktanya, keberadaan laporan MD&A meningkatkan tingkat ekspektasi pasti dari pihak eksternal dan tingkat nada pesimis dalam pengumuman pendapatan yang digunakan untuk meminimalkan ekspektasi mereka. Untuk meyakinkan pemangku kepentingan bahwa perusahaan dalam kondisi berkelanjutan, manajemen memberikan CSR yang lebih baik sebagai bagian dari praktik greenwashing.

Penelitian ini memberikan implikasi praktis bagi pemerintah, investor, dan semua pemangku kepentingan yang tertarik dengan CSR dan pengungkapan naratif. Bagi pemerintah dapat mempertimbangkan temuan-temuan dari penelitian ini mengenai pentingnya penjabaran dalam laporan MD&A karena belum adanya pedoman penulisan laporan MD&A dalam regulasi otoritas keuangan Indonesia. Keberadaan outline akan membantu memfasilitasi pengukuran kepatuhan laporan MD&A dan menjaga tingkat transparansi. Sedangkan bagi investor, hasil penelitian dapat digunakan untuk memperhatikan kemungkinan sinyal spesifik dari penggunaan nada dalam narasi yang dilaporkan oleh manajemen perusahaan dan dampaknya terhadap kinerja keuangan dan non-keuangan.

Penulis: Dr. Sri Ningsih, SE., M.Si., Ak.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.scopus.com/record/display.uri?eid=2-s2.0-85121008335&origin=resultslist&sort=plf-f

Ningsih, S., Harymawan, I., Fitriani, N., & Lam, B. (2021). Pessimistic Tone in Earnings Announcement and CSR Disclosure: Exploring the Interacting Role of CEO Busyness. Sustainability13(24), 13645.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp