Penggunaan Antibiotik yang Rasional Dapat Mengurangi Angka Resistensi Antibiotik pada Penyakit Pneumonia Komunitas

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh lifepack.id

Pneumonia merupakan infeksi saluran pernapasan bawah yang menyebabkan inflamasi di satu atau kedua lobus paru. Inflamasi di kantong udara (air sac)dapat terisi dengan cairan atau pus purulen dan dapat menyebabkan batuk disertai dahak atau pus, demam, dan sulit bernapas. Berbagai organisme, termasuk bakteri, virus, dan jamur, dapat menyebabkan pneumonia. Pneumonia kemudian dibedakan berdasarkan tempat terjadinya menjadi pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial, dan Ventilator-Associated Pneumonia (VAP). Pneumonia komunitas didapatkan dari masyarakat dan bukan dari lingkungan rumah sakit. Pneumonia komunitas merupakan penyakit yang sering terjadi dan bersifat serius serta berpengaruh dengan angka kesakitan dan angka kematian, khususnya pada pasien umur lanjut dan pasien dengan komorbid.

Sebagian besar pneumonia disebabkan bakteri, oleh karena itu dalam tata laksana pneumonia komunitas antibiotik digunakan sebagai terapi farmakologis. Dikatakan bahwa penggunaan terapi antibiotik untuk indikasi pneumonia menyumbang angka paling tinggi dibandingkan pemberian terapi antibiotik untuk penyakit lainnya. Di sisi lain, hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) pada tahun 2000-2005 menyatakan bahwa banyak dilaporkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik seperti Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan Salmonella spp. Resistensi antibiotik dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Fenomena ini tidak dapat dihentikan dan menjadi masalah yang semakin mengkhawatirkan dalam kesehatan masyarakat. Resistensi antibiotik akan terjadi semakin cepat seiring penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa pada tahun 2013, sedikitnya ada 700.000 orang meninggal karena resistensi obat pada penyakit infeksi bakteri, malaria, HIV/AIDS dan tuberkulosis. WHO memprediksi bahwa pada tahun 2050 mendatang akan ada 10 juta jiwa per tahun yang meninggal karena resistensi obat.

Penggunaan obat-obat antibiotik harus diberikan secara rasional dan sesuai untuk meminimalisir angka terjadinya resitensi antibiotik serta menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat, dan dengan harga yang terjangkau. Pemberian antibiotik yang rasional dan sesuai sangat penting untuk keberhasilan pengobatan. Inappropriate Empirical Therapy (IET) atau terapi empiris yang tidak tepat diduga dapat meningkatkan angka rawat inap ulang dan angka mortalitas. Penggunaan antibiotik rasional dapat berarti bahwa dalam penggunaannya memenuhi beberapa kriteria berikut ini: tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama pemberian, tepat penilaian kondisi pasien, dan tepat informasi.

Meskipun obat-obat farmakologis merupakan komponen penting dari tata laksana kesehatan dan memainkan peran penting dalam menyelamatkan nyawa, penggunaannya merupakan masalah yang kompleks dan terkait dengan dokter, penyedia obat, dan pasien secara keseluruhan. WHO telah mengembangkan indikator untuk mengevaluasi praktik penggunaan obat rasional di fasilitas kesehatan. Indikator ini paling sering dilihat dari resep, fasilitas kesehatan, dan perawatan pasien. Menurut WHO, peresepan dan peredaran obat yang tidak tepat menyumbang lebih dari 50% dari semua obat di pasaran dan penggunaan obat yang tidak rasional ini mengakibatkan berbagai bentuk risiko dan biaya kesehatan. Sebagai upaya untuk menekan angka resistensi antibiotik terutama di fasilitas pelayanan kesehatan, dibentuklah Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) oleh Kementrian Kesehatan. Lalu telah dibuat juga program aksi nasional yang didukung oleh WHO. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) merupakan upaya pengendalian resistensi antibiotik yang dilaksanakan di fasilitas pelayanan Kesehatan.

Terapi antibiotik pada pneumonia komunitas adalah menggunakan fluorokuinolon atau menggunakan kombinasi terapi antibiotik beta laktam dan makrolid. Fluorokuinolon secara signifikan menyebabkan lebih sedikit kegagalan klinis, putus obat, dan diare dibandingkan dengan terapi kombinasi beta laktam dan makrolid. Akan tetapi, kombinasi terapi beta laktam dan makrolid mempunyai manfaat sendiri karena disebutkan berhubungan dengan penurunan angka mortalitas dan/atau lama rawat yang lebih singkat dibandingkan dengan monoterapi dengan beta laktam.

Pada tahun 2018, penggunaan antibiotik untuk indikasi pneumonia komunitas di ruang rawat inap Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) telah mencapai angka rasional hingga 85,6% dan juga tidak ditemukan kematian pada pasien pneumonia komunitas. Angka kematian pada pneumonia komunitas tergantung dari beberapa faktor seperti faktor pasien, bakteri penyebab, dan penggunaan antibiotik yang tepat. Angka penggunaan obat secara rasional yang didapatkan ini juga karena upaya stakeholder dalam menekan dan mengendalikan angka resistensi antimikroba.

Penulis: Maftuchah Rochmanti, Rafida Sofi Kamila, Arief Bakhtiar

Detail tulisan lengkap dapat dilihat:

Rafida Sofi Kamila, Maftuchah Rochmanti, Arief Bakhtiar, 2020. Appropriate Antibiotic Use for Community-Acquired Pneumonia in Inpatient Settings and Its Impact on 30-days Readmission and Mortality Rate. Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology, Volume: 15, No. 1.

Link artikel:

https://doi.org/10.37506/ijfmt.v15i1.13817

http://medicopublication.com/index.php/ijfmt/article/view/13817

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp