Kekerasan Seksual dalam Metaverse, Pakar UNAIR: Tingkatkan Regulasi dan Pemahaman Platform

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Kekerasan seksual yang terjadi di dunia Metaverse kembali meraih perhatian publik. Lantas bagaimana tanggapan pakar media mengenai hal ini? Apa yang menyebabkan adanya kekerasan seksual pada media virtual reality?

Prof.Rachmah Ida Ph.D, pakar kajian media Universitas Airlangga (UNAIR) mengungkapkan bahwa pelecehan seksual dapat terjadi di media manapun. “Sama halnya dengan cyberbullying, dan body shaming yang dapat terjadi di media manapun. Tidak hanya di Metaverse, di media lain pun ada orang yang mengambil keuntungan atau take advantage dengan cara seperti itu,” jelasnya.

Meskipun dunia virtual tidak dapat benar-benar disentuh, namun tubuh avatar dianggap merepresentasikan tubuh asli pengguna. “Sehingga perlakuan yang diberikan kepada avatar terasa diberikan kepada pengguna, begitu juga dengan perilaku kekerasan seksual,” sebutnya.

Kejadian tersebut juga disebutkan Ida tidak berkaitan dengan kebaruan media. “Kekerasan seksual bisa terjadi di media apapun, meskipun itu media yang baru muncul seperti Metaverse,” katanya.

Kekerasan seksual dan kejahatan lain yang berada di dalam dunia cyber, tak lepas dari keberadaan hukum cyber. Ida menyebutkan beberapa negara termasuk Indonesia, tidak memiliki adanya hukum cyber yang berkuasa menangkap dan mengadili pelaku dalam dunia virtual reality.

Padahal, kebudayaan cyber dan realita merupakan kebudayaan yang berbeda, sehingga memerlukan hukum yang berbeda pula. Pengguna di dalam dunia virtual reality disebutkan Ida sebagai ghostwild, karena sifatnya yang liar dan anonim. Karena sifatnya itu, pengguna sulit mengetahui dimana keberadaan Avatar, dan siapa yang menggerakkannya.

Ketiadaan hukum cyber menyebabkan sulitnya pencarian dan pemberian efek jera pada pelaku. “Kita nggak tahu siapa yang berada di balik avatar itu, kalau ada Cyber Law atau Artificial Intelligence Law baru bisa kita mencari,” ungkap Pakar Kajian Media Studies pertama di Indonesia tersebut.

Pemahaman akan peraturan dan privacy juga menjadi sorotan Pakar Kajian Media Unair. Pengguna seringkali melewatkan adanya peraturan dan perjanjian tertulis dalam term of use dan disclaimer. “Boleh mencoba-coba memakai media, asal dipahami dulu, karena tiap media punya berbagai fitur untuk melindungi privasi,” pungkasnya(*)

Penulis : Stefanny Elly

Editor : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp