Pentingnya Protokol Kesehatan untuk Meningkatkan Produktivitas Sapi Perah

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Konsumsi susu sapi di Indonesia dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Hal ini selain disebabkan oleh meningkatnya daya beli masyarakat juga semakin banyak masyarakat yang menyadari akan pentingnya manfaat mengkonsumsi susu sapi. Peningkatan permintaan akan susu sapi ternyata tidak diimbangi oleh produksi susu nasional sehingga menyebabkan pemerintah harus melakukan importasi susu dari Selandia Baru dan Australia.

Secara nasional, jumlah populasi sapi perah tahun 2020 berjumlah 584.582 ekor dengan produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) sebanyak 997 ribu ton. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan susu di Indonesia saat ini mencapai 4.3 juta ton per tahun sehingga kontribusi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) terhadap kebutuhan susu nasional baru sekitar 22.7%.

Berdasarkan Blueprint Persusuan Indonesia Tahun 2013-2025 yang dikeluarkan oleh Kemenko Perekonomian, target pemenuhan kebutuhan susu nasional dari susu segar dalam negeri sebesar 60%. Dalam upaya merealisasikan target tersebut telah disusun sasaran jangka panjang diantaranya peningkatan populasi ternak dan produktivitas sapi perah menjadi diatas 20 liter/ekor/hari. Saat ini, produktivitas susu sapi perah skala rakyat masih dibawah 15 liter/ekor/hari dengan jarak kelahiran pedet lebih dari 12 bulan. Hal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya populasi ternak dan produksi susu segar dalam negeri.

Salah satu penyakit yang dapat menyebabkan rendahnya tingkat produksi susu dan kesuburan pada sapi perah  adalah Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR). Penyakit ini disebabkan oleh Bovine Herpesvirus-1 (BoHV-1) yang termasuk dalam keluarga virus Herpesviridae. Infectious Bovine Rhinotracheitis merupakan penyakit yang sangat menular antar sapi dalam satu peternakan. Penyakit ini dapat ditularkan baik melalui kontak langsung maupun perkawinan. IBR memiliki gejala klinis adanya pengelupasan pada mukosa hidung sehingga timbul “red nose”, demam, lesu, menurunnya nafsu makan, diare, abortus, mastitis, radang pada hidung dan alat kelamin sapi jantan maupun betina. 

Meskipun penyakit ini tidak sepopuler brucellosis, namun dampak ekonomi yang disebabkan pada peternakan sapi perah sangat signifikan diantaranya abortus pada trimester akhir, turunnya tingkat kesuburan dan produksi susu, kematian pedet dan meningkatnya biaya pengobatan akibat infeksi penyakit lain. Oleh karena dampak ekonomi yang ditimbulkan, pemerintah memasukkan penyakit ini dalam daftar Penyakit Hewan Menular strategis (PHMS) melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts/OT.140/3/2013.

Protokol kesehatan 5M dalam upaya pencegahan Infectious Bovine Rhinotracheitis pada peternakan sapi perah yaitu:

  1. Melakukan program vaksinasi

Vaksinasi dapat dilakukan pada sapi dara 2 – 3 minggu sebelum dilakukan perkawinan. Vaksinasi pada sapi bunting juga dapat dilakukan untuk meningkatkan antibodi kolostrum. Jenis vaksin yang dapat digunakan adalah vaksin aktif, vaksin inktif dan vaksin sub unit.

  1. Melakukan karantina

Hendaknya sapi baru yang akan dimasukkan ke dalam peternakan memiliki hasil uji darah negatif. Lama masa karantina sapi 21 hari, jika hasil uji darah pertama positif dan hasil uji kedua positif maka dilakukan uji Polymerase Chain reaction (PCR), jika hasil PCR positif maka dilakukan pemotongan, namun jika hasil PCR negatif maka sapi dapat dibebaskan.

  1. Mengurangi mobilitas

Tingginya frekuensi pengunjung dari luar peternakan dan jarak antar peternakan yang kurang dari 1.5 km dapat meningkatkan resiko masuknya virus ke dalam suatu peternakan.  Pembatasan pembeli susu segar langsung ke peternakan, pekerja luar dan dokter hewan dapat mengurangi resiko masuknya penyakit ini ke dalam peternakan. Selain itu, tidak bercampurnya peternakan sapi perah dengan kandang kambing dan atau domba juga dapat mengurangi resiko. 

  1. Menjauhi kerumunan

Keikut sertaan ternak dalam kontes peternakan dan penjualan ternak di pasar hewan memiliki tingkat risiko lebih tinggi untuk terinfeksi virus dari ternak lain.

  1. Mengetahui riwayat peternakan

Pembelian ternak dari peternakan yang diketahui memiliki riwayat bebas penyakit serta melakukan usaha pembibitan ternak sendiri dapat mengurangi risiko masuknya pnyakit IBR ke dalam suatu peternakan.

Kunci utama dalam pencegahan penyakit ini adalah penerapan Good Farming Practice (GFP) dalam manajemen pengelolaan peternakan sapi perah

Penulis: Reny Afida

Mahasiswa Magister Prodi Ilmu Penyakit dan Kesehatan Masyarakat Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp