Pola Kepekaan Antibiotika pada Escherichia coli Penghasil ESBL yang Dikode Gen blactx-M-15 yang Berasal dari Isolate Infeksi Saluran Kemih

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh ratgeber-darmgesundheit.de

Permasalahan infeksi oleh bakteri yang disebabkan oleh bakteri penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) di Indonesia masih tinggi. Data nasional, menunjukkan bahwa prevalensi Escherichia coli (E. coli) dan Klebsiella pneumonia (K. pneumoniae) yang diambil dari 8 RS Pendidikan utama di Indonesia, mencapai 60%. Pola kepekaan antimikroba pada bakteri penghasil ESBL sudah sangat mengkhawatirkan, karena antibiotika pilihan, hanya tinggal 4-5 antibiotika saja. Salah satu karakter yang memprihatinkan pada bakteri penghasil ESBL adalah, ensim ESBL bisa dikode oleh gen yang berlokasi di kromosom maupun di plasmid, atau di keduanya. Kita ketahui Bersama bahwa jika gen pengkode resistensi yang berada di plasmid, maka akan makin mudah berpindah antar bakteri, sehingga penyebaran resistensi makin cepat. Kajian ini kami coba dilakukan analisis seberapa besar gen pengkode resistensi berada di plasmid dan pola kepekaan E coli penghasil ESBL yang dikode gen blaCTX-M-15.

Pada sebanyak 84 isolat E coli yang berasal dari infeksi saluran kemih, yang diisolasi dari pasien di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dilakukan analisis genetic molekuler, seberapa besar peran plasid sebagai pembawa gen resisten tersebut. Hasil uji kepekaan, sebanyak lebih 95% isolate, resisten terhadap Amoksisilin, seftasidim, sefotaksim seftasidim, dan seftriakson. Hal ini menunjukkan bahwa antibiotika ini sudah tidak bisa lagi dipergunakan untuk terapi klinik. Resistensi yang kurang dari 5%, ditemukan pada antibiotika karbapenem, amikasin, dan fosfomisin. Sedangkan pola resistensi antibiotika lain berada diantara 51% sampai 92% yakni, Ampisilin-sulbaktam, piperasilin-tasobaktam, levofloksasin, siprofloksasin, kotrimoksasol, tetrasiklin dan tobramisin. Hal ini menunjukkan berbahayanya bakteri penghasil ESBL yang dikode gen blaCTX-M-15.Pada 84 isolat tersebut, sebanyak 82 (97,6%) adalah dikode gen, dan 35 (41,7%) dikode oleh gen blaTEM. Tidak diketemukan gen blaSHV. Di antara 82 gen blaCTX-M sebanyak 54 (65,9%) adalah jenis blaCTX-M-15.

Hasil telaah lokasi gen pengkode ensim ESBL jenis blaCTX-M-15 sebanyak 54 isolat, menunjukkan bahwa sebanyak 34 berada hanya di kromosom, sedangkan 7 di antaranya juga ditemukan di plasmid.  Sedangkan sebanyak 20 isolat bakteri, gen blaCTX-M-15 hanya diketemukan di plasmid saja. Artinya gen yang berada di plasmid adalah sebanyak 27 isolat bakteri. Keadaan ini menunjukkan berbahayanya bakteri resisten penghasil ESBL tersebut, karena banyak gen yang berada di plasmid, yang sangat mudah untuk mampu berpindah atau memindahkan gen resisten ke bakteri lain. Perpindahan gen ini akan makin dipermudah jika di lingkungan bakteri banyak diketemukan antibiotika golongan beta lactam, khususnya sefalosporin generasi ke 3. Juga bakteri penghasil ESBL yang dikode oleh gen blaCTX-M-15 sudah tidak lagi mampu diatasi dengan antibiotika yang tersedia, kecuali karbapenem, amikasin dan fosfomisin.

Keadaan yang mengkhawatirkan juga adalah di antara 84 bakteri penghasil ESBL tersebut, sebanyak 25 (29,8%) adalah masuk dalam grup B2 yang diketahui bersifat ganas. Hal ini menjadi kekhawatiran lebih lanjut, karena gen virulen ini bisa mudah juga berpindah melalui plasmid bersama gen resisten. Perpindahan ini juga makin cepat di dalam lingkungan yang banyak menggunakan antibiotika. Hal inilah yang mendasari Prgram Pengendalian resistensi Antimikroba (PPRA) yang diprioritaskan oleh Kementerian Kesehatan di dalam menanggulangi makin meningkatnya resistensi di Indonesia. Apalagi diketahui bahwa penggunaan antibiotika yang dilakukan tanpa ada indikasi yang jelas mencapai lebih dari 50%. Keadaan ini menjadi kekhawatiran kita semua, khususnya di Indonesia yang sedang berjuang melawan penyakit infeksi.

Program PRA ini pada saat ini menjadi prioritas di Inbdonesia, dan diwujudkan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8/2015. Di dalam PMK 8/2015 tersebut ditekankan pentingnya penggunaan antibiotika bijak, dan secara khusus lagi bagaimana kita bisa menekan penggunaan antibiotika tanpa indikasi yang jelas, seperti penggunaan antibiotika yang dipakai pada infeksi yang disebabkan oleh virus, atau bentuk inflamasi non-infeksi yang juga diberikan antibiotika. Penggunaan antibiotika bijak ini tidak hanya perlu dilakukan di rumah sakit, namun juga di masyarakat, dan bahkan penggunaan antibiotika untuk perangsang pertumbuhan di peternakan. Untuk mendapatkan antibiotika dari apotik seharunya disertai dengan resep dokter. Untuk itu tugas program PRA ini perlu kolaborasi yang sinergi di antara semua tenaga Kesehatan.

Penulis: Prof. Dr. Kuntaman, MS., SpMK(K).

Link Jurnal: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33811389/

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp