Pengalaman Lansia Merawat Cucu dengan Kebutuhan Khusus

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Klikdokterr

Keluarga yang membesarkan anak berkebutuhan khusus memiliki tantangan sendiri (Franklin, 2020). Anak yang memiliki karakteristik spesifik pada  fisik, mental, dan perilaku sosial (seperti: gangguan komunikasi, kesulitan interaksi sosial, gangguan emosi dan lain-lain) memerlukan strategi dan pendekatan khusus dalam penanganannya (Tigere & Makhubele, 2019). Saat ini, terjadi perubahan pola peran ibu sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga sehingga anggota keluarga lain dalam keluarga (keluarga besar) seperti nenek akan menjadi figur pengganti orang tua saat mengasuh cucunya (Wahyuni & Abidin, 2015). Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di beberapa Sekolah Luar Biasa di kota Surabaya menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus lebih banyak diasuh oleh kakek dan nenek daripada orang tuanya. Berbagai pengalaman membuat orang tua lebih nyaman jika pengasuhan cucu dilakukan oleh orang tua mereka (lansia) dibandingkan orang lain, seperti babysitter. Banyak lansia di Indonesia tinggal bersama keluarga mereka. Lansia yang tinggal bersama keluarganya dalam tiga generasi sebanyak 40,64% (Statistik, 2019). 

Sementara itu, pengasuhan cucu memiliki dampak positif dan negatif bagi lansia (Fauziningtyas et al., 2018). Faktor utama yang mempengaruhi manajemen diri kesehatan kakek dan nenek yang terlibat dalam merawat cucu adalah beban pengasuhan (Jing & Guo, 2019). Pengasuhan cucu pada lansia berdampak positif pada aspek fisik, psikis, sosial, dan lingkungan (Putu et al., 2020). Berdasarkan penelitian lain, nenek dan kakek yang terlibat dalam mengasuh cucunya melaporkan tingkat kepuasan hidup dan kualitas hidup yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nenek melaporkan gejala depresi yang lebih sedikit dibandingkan wanita tanpa cucu (Tanskanen et al., 2019). Selain itu, lansia yang diwawancarai menerima dengan lapang dada jika diberi tanggung jawab untuk mengasuh cucunya. Namun, terdapat dampak negatif seperti kelelahan dan konflik keluarga (Fauziah, 2020). 

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Lansia yang menjadi responden diwawancara selama 60-90 menit. Selain itu, terdapat catatan lapangan untuk mendokumentasikan suasana, ekspresi wajah, perilaku dan respon non-verbal partisipan selama proses wawancara. Setelah semua wawancara selesai, peneliti kemudian membuat kontrak lagi dengan partisipan untuk pertemuan berikutnya yaitu untuk validasi data. Analisis data melalui sembilan tahapan sebagai berikut: mendeskripsikan fenomena yang diteliti, mengumpulkan deskripsi fenomena melalui pendapat partisipan; membaca seluruh uraian partisipan tentang fenomena yang diteliti, memisahkan pernyataan signifikan dengan memberi kode pada pernyataan partisipan yang memiliki makna signifikan dicantumkan kata demi kata; merumuskan arti dari setiap pernyataan penting; mengelompokkan setiap unit makna ke dalam satu tema/kelompok makna; mengintegrasikan setiap tema ke dalam deskripsi yang lengkap, memvalidasi hasil analisis kepada peserta, dan menyempurnakan hasil analisis dengan data yang diperoleh selama proses validasi.

Penelitian ini menunjukkan keterlibatan lansia dalam mengasuh cucu dalam penelitian ini adalah peran kakek-nenek dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan jasmani cucu. Membesarkan cucu adalah tanggung jawab bersama kakek-nenek dan orang tua. Keluarga memelihara hubungan antar generasi, dimana generasi awal akan selalu meninggalkan pengaruh pada generasi berikutnya (Santrock, 2002). Selain itu, partisipan memiliki perasaan senang selama bersama cucunya. Beberapa lansia memiliki keluhan saat merawat cucunya, namun keluhan tersebut hilang saat lansia melihat cucunya bahagia. Partisipan menganggap tidak ada keluhan yang memberatkan dan semua bisa teratasi karena setiap kali ada keluhan datang, para lansia merasa keluhan terbayar saat melihat cucunya yang lucu dan sehat. Secara psikologis, lansia merasa bahwa kelelahan fisik dapat dihilangkan dengan berdoa dalam mengatasi penyakit. 

Partisipan juga mengatakan bahwa mereka  membuat keputusan untuk diri mereka sendiri karena lansia berpikir bahwa cucu mereka adalah segalanya dan merupakan penerus keluarga. Para lansia juga melakukan kegiatan lain ketika mereka tidak merawat cucu mereka, seperti berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Hampir semua pemenuhan kebutuhan cucu datang dari kedua orang tua dan kakek-nenek. Namun, sebagian kakek-nenek memenuhi hampir semua kebutuhan cucu karena ibu mereka tidak bekerja dan lansia memiliki dana pensiun. 

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa semua lansia merasakan pengalaman positif selama merawat cucu berkebutuhan khusus. Respon yang sama diungkapkan oleh partisipan terkait makna seorang cucu. Mereka percaya bahwa cucu adalah segalanya, di luar anak-anak mereka sendiri, berlian, hadiah dan kebanggaan. Selain itu, mereka memiliki perasaan senang atas kelahiran cucu dan keputusan untuk merawat cuuc berasal dari diri mereka sendiri. Sebagian besar kegiatan yang sering dilakukan bersama cucu adalah bermain. Kegiatan lainnya adalah mengikuti kegiatan kemasyarakatan, mengurus rumah tangga, menonton TV, dan berjualan jajan di depan rumah. Semua partisipan berpendapat bahwa mengasuh cucu lebih baik dengan kakek dan nenek daripada dengan pengasuh.

Penulis : Sylvia Dwi Wahyuni. Informasi detail dapat  dilihat di artikel yang berjudul: The Older Adults Experience Caring for Grandchildren with Special Needs dan dapat dilihat di laman: https://e-journal.unair.ac.id/JNERS/article/view/27479 , Oktober 2021, Vol.16 issue 2.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp