Problema Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dengan Fundamentalisme Islam: Menelisik Esensi Disertasi Joeni Arianto

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Direktur CleP UNAIR Joeni Arianto Kurniawan, Ph.D., saat memaparkan materi pada webinar yang digelar oleh FH Universitas Brawijaya dan SEPAHAM. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Direktur Centre for Legal Pluralism (CleP) UNAIR Joeni Arianto Kurniawan, Ph.D., diundang sebagai narasumber pada webinar yang digelar oleh FH Universitas Brawijaya dan Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) pada Selasa siang (21/12/2021). Topik yang dibahas tersebut adalah terkait HAM dan perlindungan kebhinekaan di Indonesia. Untuk kali pertama, Joeni dapat mempresentasikan hasil disertasinya yang membahas terkait fundamentalisme Islam dan kaitannya dengan problema keberagaman dan kebebasan beragama di Indonesia.

Joeni menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia bukan merupakan barang baru, dan masih merupakan problem yang serius. Ia mengatakan bahwa amat relevan apabila mengkaji intoleransi untuk menalikannya dengan eksistensi fundamentalisme Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa acapkali kasus-kasus pelanggarannya erat kaitannya dengan dugaan penodaan agama Islam.

“Dari sini kita bisa bertanya, mengapa intoleransi masih marak sekali terjadi sekalipun legal frameworks di Indonesia telah memiliki instrumen perlindungan HAM? Mengapa ia masih gagal dalam mencegah praktiknya? Apa yang kurang disana?” tanya Joeni yang juga merupakan lektor di FH UNAIR itu.

Disinilah masuk diskursus ideologi fundamentalisme Islam. Joeni menjelaskan bahwa pemahaman tersebut merupakan revitalisasi agama yang berperspektif anti terhadap modernitas, liberalisme, dan interpretasi kritis terhadap kitab suci. Dapat disebut juga sebagai Islamisme, ia menggunakan agama Islam sebagai ideologi politik, dan menginginkan agar syariat Islam dapat masuk ke kaidah-kaidah hukum positif.

“Dan Islamisme ini sudah dapat ditemui sejak masa pendirian republik, melalui upaya kelompok Masyumi. Hasil pergerakannya dapat dilihat melalui dimasukkannya 7 kata terkait kewajiban menjalani syariat Islam di Piagam Jakarta. Bahkan sempat memasukkan persyaratan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus beragama Islam. Namun, hasil perjuangannya seringkali menemui deadlock dengan kelompok pluralis dan mati pasca bergulirnya era Demokrasi Terpimpin,” ujar alumni University of Pisa itu.

Joeni mencatatkan bahwa Islamisme mulai kelihatan lagi geliatnya di era Reformasi, dan berhasil gol melalui norma Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945. Di pasal itu, diatur bahwa penikmatan HAM dapat dibatasi oleh nilai-nilai agama. Hal tersebut menurut Joeni, berimplikasi pada lahirnya hukum-hukum yang dapat menjerat kebebasan beragama seseorang, terutama seseorang dari kelompok agama minoritas. Beberapa contoh yang ia catatkan adalah adanya UU Penodaan Agama, ratusan didoknya “perda syariah”, dan adanya penegakan hukum Islam di Aceh. Semua ini ditegakkan dengan perspektif fundamentalisme yang intoleran dengan pluralisme.

“Untuk menghalau fundamentalisme dan menciptakan perlindungan terhadap kebebasan beragama, saya menciptakan solusi yang saya namakan prinsip Trinitas Keberagaman. Prinsip adalah liberalisme-sekularisme-the translation provision. Solusi ini niscaya guna mengkonsistenkan ideal kita di Indonesia sebagai negara yang melindungi kebebasan beragama” tegas Joeni. 

Liberalisme merupakan elemen kunci karena menurut lektor itu, penjaminan kebebasan tersebut takkan mungkin apabila prinsip tersebut tidak diaplikasikan. Hal ini pula diperkuat pula dengan sekularisme, dimana negara tidak berpihak (imparsial) pada agama apapun Hal ini berarti bahwa tidak boleh ada istilah agama yang diakui oleh negara. Namun, Joeni tak ingin kedua prinsip ini menjadi sekularisme ekstrim layaknya di Perancis. Sehingga, ia menggunakan teori Habermas yakni the translation provision sebagai solusinya.

“Singkatnya, teori Habermas berarti adalah bagaimana hukum dapat ditranslasikan secara interkultural agar ekspresi-ekspresi keagamaan itu dapat dilaksanakan secara bebas namun tidak mengganggu kebebasan beragama orang lain,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp