Mengenal Penyakit Meniere

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Merdeka com

Penyakit Meniere adalah gangguan kronik telinga bagian dalam, yang tidak berakibat fatal namun mengganggu kualitas hidup. Penyakit Meniere memiliki prevalensi sekitar 200 kasus per 100.000 orang di Amerika Serikat, sedangkan di negara bagian lain kurang dari 0,2% populasi. Prevalensi meningkat secara linier dengan bertambahnya usia, terutama di atas 60 tahun. Laki-laki dan perempuan diperkirakan proporsional secara jumlah kasus. Sampai saat ini belum ada terapi yang mampu menyembuhkan penyakit ini secara tuntas, namun perlu diketahui terapi yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

Menurut pedoman American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS), penyakit Meniere ditandai dengan 4 gejala, yaitu:

(1) Vertigo: sensasi berputar, episodik, ringan sampai berat, rotasional, dengan durasi minimal 20 menit per episode serangan, tidak pernah lebih dari 24 jam.

(2) Penurunan pendengaran: tuli sensorik frekuensi rendah yang berfluktuasi, yang memburuk selama serangan, dan dapat menjadi semakin buruk seiring waktu.

(3) Tinnitus: dering bernada rendah yang khas atau suara menderu di telinga

(4) Perasaan penuh dalam telinga

Kondisi patofisiologi yang mendasari penyakit Meniere adalah hidrops endolimfatik yang ditunjukkan melalui diagnosis pasti hanya dengan biopsi post mortem (histopatologis) temporalis. Untuk tujuan klinis (pengobatan dan pelaporan) adanya hidrops endolimfatik dapat disimpulkan selama hidup dengan adanya tanda atau gejala berikut seperti vertigo episodik spontan berulang, gangguan pendengaran berfluktuasi, telinga penuh, dan tinnitus.

Penyakit Meniere pertama kali ditemukan pada tahun 1861 oleh Prosper Meniere dan beliau menerbitkan artikelnya sebagai rangkaian kasus di jurnal kedokteran Paris berjudul Apoplectic Cerebral Congestion, yang dikenal sebagai gangguan otak. Saat itu Prosper Meniere memaparkan kelainan patologis yang ditonjolkan dalam artikel yang dipublikasikan berupa gangguan organ perifer yang ditandai oleh adanya vertigo episodik yang disertai dengan adanya gangguan pendengaran yang fluktuatif.

Etiologi penyakit Meniere saat ini diketahui disebabkan oleh faktor intrinsik (kelainan genetik, kelainan anatomis, faktor metabolik, kelainan endokrin, autoimun, dan kelainan vaskuler) serta faktor ekstrinsik (alergi, trauma, dan infeksi virus). Saat ini, MRI dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk menentukan etiologi penyakit Meniere. Patofisiologi Penyakit Meniere terjadi karena hidrops endolimfatik di telinga bagian dalam yang menyebabkan kerusakan sel ganglion.

Selain itu, peningkatan tekanan telinga menyebabkan iritasi sakulus, utrikulus yang menyebabkan gejala tambahan seperti pusing dan ketidakseimbangan. Tekanan tertinggi ditemukan di apeks koklea, yang memiliki neuron reseptor yang sensitif terhadap suara frekuensi rendah, sehingga area ini sering terganggu. Peningkatan tekanan pada endolimfe bersifat fluktuatif sehingga serangan Meniere juga berfluktuasi. Peningkatan volume endolimfe menyebabkan membran Reisner pecah sehingga cairan perilimfe dan endolimfe akan menyatu. Pencampuran cairan perilimfe dan cairan endolimfe menyebabkan reseptor neuron di koklea dan sistem vestibular terendam sehingga berhenti bekerja dan akhirnya fungsinya untuk sementara terganggu. Hal ini mengakibatkan gangguan keseimbangan dan fungsi pendengaran.

Terapi saat ini untuk penyakit Meniere berdasarkan kelompok studi neurotologi dan neurooftalmologi diklasifikasikan menjadi terapi farmakologis dan non-farmakologis. Terapi farmakologi meliputi diuretik hidroklorotiazid dan asetazolamid dengan dosis 50 mg per hari, kortikosteroid prednison 80 mg sekali sehari hingga 7 hari kemudian tapering off, antivertigo betahistin dengan dosis 48 mg per 24 jam, pasien dapat diberikan kalium per oral untuk mencegah hipokalemia akibat pemberian diuretik, serta anti histamin. Terapi nonfarmakologis yang dapat diberikan adalah diet rendah garam 1,5-2 gram per hari, diet tinggi kalium, hidrasi, terapi intervensi non destruktif dengan injeksi steroid intratimpani, dekompresi dan atau shunt kantung mastoid endolimfatik, terapi destruktif dengan injeksi gentamisin intratimpani (chemical labyrinthectomy), serta terapi adaptif dan rehabilitatif.

Pada beberapa kasus penyakit Meniere jika ditangani secara serius dapat mengurangi gejala hingga 80-90 persen, namun berdasarkan penelitian sebelumnya belum pernah dilaporkan adanya kasus yang sembuh total. Berikut ini akan kami sajikan laporan kasus penyakit meniere dengan diagnosa berupa MRI kepala dengan kontras dan audiologi, pasien mengalami perbaikan keluhan setelah diberikan terapi.

Penulis: Hanik Badriyah Hidayati*, Edfina Rahmarini**

*Staf Pengajar Divisi Nyeri, Neurotologi-Neuroftalmologi, Neurorestorasi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran, Universitas AirlanggaRSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

**Residen Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas AirlanggaRSUD Dr. Soetomo,Surabaya.

Korespondensi: edfinarahmarinidr@gmail.com

Detail tulisan lengkap dapat dilihat di: https://www.ijscia.com/wp-content/uploads/2021/10/Volume2-Issue5-Sep-Oct-No.182-867-870.pdf

Untuk menyitasi jurnal:

Rahmarini E, Hidayati HB. Meniere Disease: A Case Report. Int J Sci Adv. 2021;2(5):867–70.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp