Biodisel: Kebijakan Strategis untuk Pembangunan Berkelanjutan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Gapki

Pemerintah Indonesia telah mengambil inisiatif untuk secara bertahap mengubah bahan bakar diesel berbasis fosil menjadi biodiesel. Inisiatif mandatori biodiesel ini bertujuan untuk mendorong penggunaan energi alternatif terbarukan dan ramah lingkungan serta diharapkan dapat menghemat devisa dan belanja negara. Penghematan devisa menjadi masalah penting karena saat ini Indonesia merupakan net importir minyak bumi karena produksi nasional tidak lagi mencukupi kebutuhan dalam negeri. Disisi lain, kebijakan ini juga mengurangi tekanan anggaran belanja negara akibat adanya kebijakan subsidi terhadap bahan bakar diesel. Penghematan tersebut diharapkan dapat dialokasikan untuk membiayai pembangunan di sektor-sektor lain yang dibutuhkan masyarakat.

Setelah melalui jalan panjang terkait persiapan teknologi dan infrastruktur, program mandatori biodiesel dimulai pada tahun 2013 yang mewajibkan pencampuran lima persen biodiesel kedalam bahan bakar solar atau dikenal dengan istilah Biosolar B5. Secara bertahap mandatori biodiesel terus ditingkatkan menjadi Biosolar B10, B15, B20 dan B30 berturut-turut pada tahun 2014, 2015, 2016 dan 2020. Kebijakan ini akan terus dikaji secara dinamis mengikuti perkembangan teknologi dan pasar. 

Namun, kebijakan mandatori biodiesel memiliki efek samping berupa penurunan ketahanan pangan akibat pengalihan minyak sawit sebagai bahan baku makanan menjadi bahan dasar biodiesel. Tarik menarik antara kedua kebutuhan tersebut dapat menyebabkan harga minyak sawit terkerek naik yang pada akhirnya akan membebani bahan makanan dan biosolar itu sendiri. Jika kenaikan harga minyak sawit melampaui batas efisiensi, maka tujuan penghematan devisa dan anggaran belanja melalui kebijakan mandatori biodiesel juga terancam tidak tercapai. Untuk itu, perlu dikaji sejauh mana kebijakan mandatori biodiesel ini dapat mencapai tujuannya, khususnya tujuan penghematan devisa dan anggaran belanja.

Untuk menjawab pertanyaan diatas, penelitian ini mengkaji pengaruh kebijakan mandatori biodiesel B15, harga minyak bumi serta tingkat produksi industri manufaktur terhadap harga minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO). Kebijakan mandatory biodiesel diyakini akan meningkatkan permintaan CPO yang pada akhirnya menekan harganya untuk naik. Disisi lain, CPO dalam konteks biodidesel merupakan produk substitusi terhadap minyak bumi, akibatnya jika harga minyak bumi naik akan mendorong peningkatan substitusi yang pada akhirnya juga menaikkan harga CPO. Sementara itu, industri manufaktur adalah pengguna terbesar bahan bakar diesel juga diyakini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga minyak sawit secara tidak langsung.

Menggunakan data bulanan dari Januari 2004 sampai Maret 2019, hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan kebijakan mandatori biodiesel B15 memiliki pengaruh positif sebesar 0,292. Artinya, penerapan kebijakan B15 ini secara rata-rata menaikkan harga CPO sebesar 29,2 persen dibandingkan sebelum kebijakan diterapkan. Namun pengaruh terbesar justru berasal dari harga minyak bumi yang berpengaruh sebesar 70,8 persen terhadap harga CPO. Artinya kenaikan harga minyak bumi akan diikuti dengan kenaikan harga CPO sebesar 70,8 persen, dan sebaliknya. Menariknya, tingkat produksi industri manufaktur justru memiliki pengaruh negatif terhadap harga CPO. Hal ini kemungkinan disebabkan penggunaan biodiesel di industri belum merata dan masih didominasi oleh bahan bakar diesel berbasis minyak fosil.

Hasil penelitian diatas memiliki beberapa implikasi. Pertama, pengambil kebijakan harus melakukan pengaturan yang ketat terhadap penyediaan, pemanfaatan dan tata niaga CPO sebagai bahan baku biodiesel. Pengaturan ini diperlukan untuk menjaga keseimbangan pasokan untuk kebutuhan pangan dan bahan bakar. Sehingga harga CPO masih pada batas efisien untuk melanjutkan program biodiesel. Kedua, pengambil kebijakan secara dinamis diharapkan terus memantau dan memperhitungkan pengaruh harga minyak bumi terhadap. Jika menggunakan koefisen 100 persen sebagai ambang efisiensi substitusi dari minyak bumi ke CPO, maka angka koefisien 70,8 persen saat ini menunjukkan kebijakan mandatori biodiesel masih efisien. Namun, jika angka koefisien sudah diatas 100 persen maka hambatan akan muncul karena keengganan untuk melakukan substitusi meningkat.

Secara keseluruhan hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa kebijakan mandatori biodiesel secara efisiensi masih mampu mencapai tujuan penghematan devisa dan anggaran. Penghematan yang didapat dapat digunakan untuk pembangunan di bidang lain yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan. Manfaat lain yang mungkin tidak dapat dihitung secara langsung dengan uang adalah meningkatnya kualitas lingkungan dan penguasaan teknologi energi terbarukan. Sehingga kebijakan mandatori biodiesel menjadi kebijakan yang strategis dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan yang berkelanjutan.

Oleh: Sulistya Rusgianto dan Anastasya Firdauzi

*Disarikan dari artikel “Does Biodiesel Initiative Save State Budget?”, Journal of Security and Sustainability Issues, Volume 9, Nomor 3, Tahun 2020 (SCOPUS Q1)

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp