Pakar HTN UNAIR dalam Membedah Pemikiran Green and Blue Constitution: Konstitusi Hendaknya Berwarna Pelangi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pakar HTN UNAIR dalam Membedah Pemikiran Green and Blue Constitution: Konstitusi Hendaknya Berwarna Pelangi. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – BSO Masyarakat Yuris Muda Airlangga (MYMA) mengadakan kegiatan bedah buku pada Minggu siang (19/12/2021), dengan buku yang dibedah adalah “Green and Blue Constitution: Undang-Undang Dasar Berwawasan Nusantara” karya Prof. Jimly Asshiddiqie. Di awal acara, Prof. Jimly dihadirkan sebagai keynote speaker untuk menjelaskan konsep dasar buku tersebut. Green constitution (konstitusi hijau) berarti adalah konstitusi yang berwawasan terhadap pelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Sementara, blue constitution (konstitusi biru) adalah konstitusi yang berwawasan terkait pentingnya diatur suatu norma dasar terhadap aspek laut dan udara.

Pakar HTN UNAIR Haidar Adam, S.H., LL.M., dihadirkan pula untuk memberikan resensi dan beberapa catatan singkat terkait buah pemikiran yang dieksplor dalam buku tersebut. Pertama ia mencatatkan bahwa perbedaan mendasar dari kedua konsep konstitusi tersebut. Menurut Haidar, konstitusi hijau lebih membahas ke aspek perlindungan (dalam konteks ini lingkungan), sementara konstitusi biru lebih membahas ke aspek kedaulatan.

“Konstitusi Indonesia menurut Prof. Jimly sudah berwawasan hijau, namun masih belum biru. Kedua hal ini harus saling berkesinambungan dalam merespon perkembangan teknologi, terutama teknologi internet, dimana geliat aktivitasnya terletak di wilayah keangkasaan melalui frekuensi. Hingga saat ini, UUD NRI 1945 masih belum sampai kesana penormaannya,” ujar Direktur UKBH UNAIR itu.

Haidar juga mencatatkan bahwa kebiruan nuansa konstitusi Indonesia adalah suatu keniscayaan, demi memotret aspek geografis Indonesia, yakni kepulauan. Alhasil, Indonesia harus memiliki pengaturan norma dasar yang memperkuat aspek kemaritimannya. Bahkan, saduran Haidar terkait elaborasi konstitusi biru di buku sampai sejauh pada filosofi warna biru itu sendiri. Disitu dikatakan, bahwa warna biru identik dengan situasi damai sebagai lawan dari merah yang merefleksikan darah.

Sebagai pembedah buku, Haidar mencatatkan bahwa fragmen pemikiran Prof. Jimly berusaha memotret bagaimana konstitusi harus responsif dan menjangkau seluruh aspek terkait perkembangan zaman. Menurutnya, hal tersebut sudah menjadi keniscayaan untuk pakar Hukum Tata Negara. Namun, ia sedikit menyayangkan bahwa eksplorasi konstitusi biru dan bagaimana itu esensial dalam memperkuat corak kenusantaraan konstitusi Indonesia masih kurang kuat, dan cenderung arbiter.

“Namun pesan yang saya tangkap adalah bagaimana kedua konstitusi hijau dan biru, adalah suatu fragmen pemikiran dari bagaimana konstitusi itu harus diteliti dan ditulis. Fragmentasi ini menunjukkan bahwa tidak ada keabsolutan, selalu dinamis dalam merespon perubahan zaman. Ia juga menunjukkan bahwa konstitusi sejatinya harus berwarna pelangi (rainbow constitution) agar dapat menjangkau kompleksitas masyarakat yang diaturnya, terutama masyarakat semajemuk Indonesia,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp