Catatan Jimly Asshiddiqie terkait Konstitusionalisasi Masa Depan Melalui Konsep Green and Blue Constitution

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie saat menjadi keynote speaker pada Bedah Buku MYMA FH UNAIR. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie diundang menjadi keynote speaker dalam Bedah Buku yang digelar oleh Masyarakat Yuris Muda (MYMA) FH UNAIR. Buku yang akan dibedah di kegiatan itu adalah “Green and Blue Constitution: Undang-Undang Dasar Berwawasan Nusantara,” dimana ia sendiri yang menulisnya. Digelar pada Minggu siang (19/12/2021), materi yang disampaikan oleh Prof. Jimly bagaimana konsep green constitution (konstitusi hijau) dan blue constitution (konstitusi biru) adalah tumpuan berpikir yang relevan dalam konstitusionalisasi berbagai disrupsi di masa depan.

Konstitusi hijau yang dimaksud disini adalah bagaimana arah gerak penormaan di konstitusi harus mengedepankan implikasi perspektif lingkungan. Prof. Jimly menuturkan bahwa konstitusi Indonesia (UUD NRI 1945) dapat dikatakan sebagai konstitusi hijau. Hal ini dapat dilihat melalui rekognisi “hak atas lingkungan yang baik dan sehat” Pasal 28H ayat (1), serta penyelenggaraan perekonomian nasional menurut Pasal 33 ayat (4) yang harus berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

“Namun konstitusi kita tak sehijau konstitusi Perancis dan Ekuador. Kita hanya mengakui bahwa aspek lingkungan itu bagian dari hak asasi manusia. Namun beda di Ekuador, hak asasi manusia terkait lingkungan hidup dibedakan dengan hak asasi lingkungan hidup. Jadi, pendekatannya lebih ekosentris. Ini esensial dalam sistem demokrasi karena perspektif antroposentrisme dalam lingkungan amat berbahaya, apabila ia tidak dibarengi oleh penegakan nomokrasi dan ekokrasi,” ujar pakar Hukum Tata Negara itu.

Namun Prof. Jimly mengatakan bahwa pengejawantahan konstitusi hijau, apabila tak dibarengi dengan konstitusi biru. Konstitusi biru adalah konstitusi yang memiliki kepekaan terkait pengaturan aspek laut, udara, dan luar angkasa. Prof. Jimly mengatakan bahwa konstitusi Indonesia masih belum berwawasan konstitusi biru, dan kekurangannya dapat ditemui di Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari frasa “terkandung di dalamnya”, timbul pertanyaan terkait siapa yang menguasai kekayaan di permukaan alam? Padahal aspek dan mayoritas aktivitas dunia virtual terletak di permukaan alam? Siapa yang menguasai dan bertanggungjawab disitu?” tutur mantan Ketua DKPP itu.

Tak hanya itu, Prof. Jimly mengatakan bahwa koneksitas dunia virtual juga terjadi di udara, yakni melalui pancaran frekuensi sinyal. Sementara itu, konstitusi Indonesia masih tidak memperhitungkan sejauh mana kedaulatan Indonesia di level udara. Untuk itu, para pakar hukum sudah seharusnya memikirkan urgensi untuk mengimplikasikan aspek udara melalui konsep konstitusi biru.

“Karena apabila mengutip bukunya Harari yaitu Homo Deus, manusia dapat menciptakan tuhan-tuhannya sendiri melalui perkembangan teknologi dan big data. Perkembangan teknologi dapat berkembang secara eksponensial dan tak terkontrol apabila tidak ada pengaturan dan pembatasan yang pakem dari aspek hukum,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp