Pejuang Kaum Minoritas Alissa Wahid Dapat Anugerah Soetandyo Award

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Alissa Qotrunada Munawaroh Wahid menerima penghargaan Soetandyo Award dari FISIP UNAIR, Selasa (14/12/2021). (Foto: Agus Irwanto)

UNAIR NEWS – Soetandyo Award kembali hadir memberikan penghargaan kepada sosok-sosok inspiratif pada Selasa (14/12/2021). Memasuki tahun ketujuh, Soetandyo Award kali ini terasa istimewa karena untuk pertama kalinya FISIP Universitas Airlangga (UNAIR) menganugerahkan penghargaan kepada dua tokoh sekaligus. Mereka adalah Prof. K.H. Nasaruddin Umar dan Alissa Qotrunada Munawaroh Wahid.

Menerima penghargaan bagi individu cemerlang di bidang sosial, HAM, dan aktivisme inklusi dan gender membawa makna tersendiri bagi seorang Alissa Wahid. Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian tersebut selama bertahun-tahun telah malang-melintang memperjuangkan multikulturalisme, HAM, serta hak-hak bagi kaum minoritas.

“Anugerah ini saya terima sebagai amanah dan refleksi diri. Saya masih seorang murid yang mencoba meneladani sosok Soetandyo. Hari ini saya diingatkan Prof. Tandyo dan UNAIR untuk meneguhkan tekad, kemana akan saya arahkan energi, pikiran, waktu, dan uang saya bagi perjuangan yang lebih besar,” tuturnya di Aula Garuda Mukti Kantor Manajemen UNAIR, Kampus C.

Alissa menceritakan bagaimana sejak sang Ayahanda, Abdurrahman Wahid, menjabat sebagai presiden, ia sulit tampil di ruang publik demi menjaga privasi. Namun Alissa mengungkapkan bahwa seusai wafatnya sang Ayahanda, banyak kaum minoritas datang kepadanya dan keluarga.

“Mereka datang ke kami dan bertanya, siapa yang akan membela mereka setelah Gus Dur wafat? Hal tersebut mendorong kami berpikir untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan Gus Dur,” cerita Sekretaris Jenderal Gerakan Suluh Kebangsaan itu.

Momen tersebutlah yang kemudian membawa Alissa untuk berjuang dari desa ke desa mengusahakan hak-hak kaum marginal dan menjahit jaringan murid-murid Gus Dur yang tersebar di berbagai daerah. “Saat itu saya bukan siapa-siapa. Punya uang tidak, dikenal tidak, sumber daya tidak ada. Saya hanya membawa semangat yang sudah diperjuangkan ayah, kakek, hingga buyut saya,” kenang Alissa.

Alissa juga bercerita bagaimana ia seringkali harus berhadapan dengan elit pemerintahan saat mendampingi kelompok minoritas. Keislamannya pun acapkali dipertanyakan saat memperjuangkan hak-hak kebebasan beragama bagi kalangan minoritas. Ia tidak mengelak merasa takut akan itu semua, namun petuah dari Gus Dur selalu menjadi prinsipnya dalam bertindak.

“Dalam hidup nyata dan perjuangan tidak mudah. Kita bukan tokoh dongeng dan mitos yang gagah berani dan penuh sifat kepahlawanan. Meski takut kita jalan terus, berani melompati pagar batas ketakutan tadi. Mungkin di situ harga kita ditetapkan,” ucapnya mengutip nasihat dari sang Ayahanda.

Maka melalui penghargaan yang diberikan FISIP UNAIR tersebut, Alissa memastikan komitmennya untuk terus belajar dan mengamalkan karakter yang telah diajarkan baik oleh Gus Dur maupun Prof. Soetandyo.

“Mereka adalah sosok principle center leader yang menempatkan prinsip sebagai poros hidupnya. Untuk itu, saya berterima kasih atas penghargaan ini dan berusaha melanjutkan perjuangan Prof. Soetandyo akan nilai-nilai HAM dan inklusivitas,” katanya.

Soetandyo Award 2021 sendiri digelar bersamaan dengan Dies Natalis FISIP UNAIR yang ke-44 tahun. Penghargaan tersebut terinspirasi dari sosok Prof. Soetandyo Wignyosoebroto sang penggagas berdirinya FISIP UNAIR. Dekan FISIP UNAIR Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si menyebut  Soetandyo Award digelar untuk mencari sosok-sosok yang mampu melanjutkan keteladanan Prof. Sooetandyo. (*)

Penulis: Intang Arifia

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp