Tantangan dan Prospek UU ITE dalam Melindungi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Periset Adhigama A. Budiman saat memberikan paparan. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Pasca desakan publik dan seabrek kasus kriminalisasi, Presiden Joko Widodo dan DPR mulai memprospekkan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk kedua kalinya. Revisi tersebut ditujukan agar kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat lebih terjamin di Indonesia. Dalam Webinar Hari HAM Internasional yang digelar oleh Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) diundang untuk mendedah tantangan dan prospek dalam UU ITE. Periset Adhigama A. Budiman hadir sebagai perwakilannya.

Adhigama menjelaskan bahwa eksistensi UU ITE setidaknya membatasi tiga jenis HAM, yakni: kebebasan berekspresi dan berpendapat, hak atas akses informasi, dan hak atas privasi. Padahal, sistem hukum Indonesia telah menjamin penghormatan hak-hak tersebut via UUD NRI 1945 dan ratifikasi ICCPR. Untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat, setidaknya ada tiga pasal yang acapkali dijadikan piranti kriminalisasi: kesusilaan (Pasal 27 ayat (1)), pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3)), dan ujaran kebencian (Pasal 28 ayat (1)).

“Dalam kurun waktu 2016-2020, ICJR mendata terdapat 768 perkara terkait UU ITE dari tiga pasal tersebut. 744 perkara diputus bersalah oleh hakim, sekitar 96.8%. Tingginya indeks kriminalisasi ini dikarenakan banyaknya unsur-unsur pasalnya yang karet,” tutur alumni Justus-Liebig University itu.

Terdapat beberapa upaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memperbaiki kerancuan tersebut. Pertama, adalah penekanan SKB Pedoman Implementasi UU ITE yang memberikan acuan pada penegak hukum agar implementasi legislasi tersebut tidak melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat. Upaya kedua adalah revisi kedua yang telah masuk ke Prolegnas. Adhigama memberikan catatan rencana revisi terhadap pasal-pasal problematik tersebut.

Untuk pasal kesusilaan, Adhigama mencatat bahwa distribusi/transmisi konten yang melanggar kesusilaan tak dapat dipidana apabila untuk konsumsi pribadi, serta muncul pola yang secara tidak langsung dapat menjadi perlindungan korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

“Harapannya kasus-kasus seperti Baiq Nuril tidak dapat terulang lagi,” tambahnya.

Implementasi pencemaran nama baik lebih dipersempit lagi ruangnya. Dimulai dari pembuatan delik pencemaran nama baik adalah delik aduan, dan hanya dapat digunakan oleh orang (natuurlijk persoon), bukan badan hukum (rechtspersoon). Ruang untuk kriminalisasi kritik terhadap pemerintah dan produk jurnalistik dicoba untuk ditutup, Adhigama mengatakan bahwa revisi tersebut mengecualikan pemidanaan untuk kepentingan umum. Perlu disinggung dalam peliputan ini bahwa pasal ini dipakai untuk melaporkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti oleh Luhut Binsar Pandjaitan, dan memenjarakan jurnalis M. Asrul karena meliput dugaan kasus korupsi di Palopo, Sulawesi Selatan.

Pemaparan materi Adhigama ini dilangsungkan pada babak kedua Webinar Hari HAM Internasional pada Sabtu pagi (11/12/2021). Dilangsungkan guna memperingati Hari HAM Internasional, perhelatan ini juga mengundang perwakilan dari Komnas Perempuan dan IM57+.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp