Sulfikar Amir: Tingginya Tingkat Mortalitas dan Morbiditas Pandemi COVID-19 di Indonesia Erat Kaitannya dengan Kepentingan Ekonomi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Pakar Sosiologi Bencana NTU Sulfikar Amir saat memaparkan materi dalam Webinar Hari HAM Internasional. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Pakar Sosiologi Bencana Nanyang Technological University Sulfikar Amir, Ph.D. hadir menjadi narasumber pertama dalam seri Webinar Hari HAM Internasional yang digelar oleh Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR. Digelar pada (10/12/2021), Sulfikar memaparkan materi yang bertajuk “Pandemi dan Fiasko Penanganan Krisis Kesehatan Berbasis Pemulihan Ekonomi.”

Dalam mengukur tingkat keparahan pagebluk, Sulfikar mengatakan bahwa terdapat dua indikator yaitu mortalitas dan morbiditas. Melihat kondisi di Indonesia selama kurang lebih 20 bulan, keganasan dari laju pagebluk menyebabkan tingginya indeks mortalitas dan morbiditas di populasi. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh proses penanganan yang tidak semestinya dimana pemerintah Indonesia tidak memaksimalisasi sumber dayanya.

“Hal tersebut menimbulkan banyaknya pelanggaran hak atas kesehatan, karena sejatinya kita mampu untuk menanganinya dengan baik. Keengganan tersebut tentu didasari oleh banyaknya kepentingan ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah dan orang-orang didalamnya,” ujar alumni Rensselaer Polytechnic Institute itu.

Argumen tersebut terlihat pada tahap awal merebaknya COVID-19 di awal 2020. Sulfikar menyinggung penyangkalan konstan bahwa hal tersebut akan berdampak di Indonesia oleh pemerintah, alih-alih memberikan peringatan dini. Dari sini dapat ditilik konteks ekonomi-politik, yakni ambisi menggebu administrasi Jokowi untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Proyek ini tentu membutuhkan biaya yang sangat besar, jadi Indonesia memerlukan pendanaan dari Cina. Jadi hubungan baik antara kedua negara harus tetap terjalin, dan respon yang ditempuh yang Indonesia adalah cenderung menegasikan bahaya pandemi.

“Ketika akhirnya kasus tersebut terdeteksi, Jokowi enggan memberlakukan karantina wilayah dengan alasan perekonomian, dan memberlakukan PSBB. Alhasil dari kegamangan pemerintah ini adalah Jakarta menjadi episentrum pandemi. Perspektif ekonomi-politik selalu saja mendapatkan prioritas dalam respon, bahkan sampai jajaran gugus dan komite penanganan pandemi. Hal ini tentu tidak sesuai sains karena dimana-mana penanganan kesehatan harusnya didahulukan,” papar lektor itu.

Satu penanya dalam audiens mempertanyakan terkait konteks ekonomi-politik yang mendisrupsi fokus pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi. Disitu Sulfikar menjawab bahwa konteksnya adalah ambisi pembangunan besar-besaran yang diliarkan oleh Jokowi, serta keeratan lingkaran kekuasaan dengan para oligarki di Indonesia.

Namun, Sulfikar mengapresiasi kestabilan laju penyebaran yang rendah di Indonesia kiwari ini. Hal ini dikarenakan bahwa Indonesia gencar memprioritaskan akses vaksinasi COVID-19 dalam rangka mencapai herd immunity. Akses vaksinasi gratis dan massif ini sempat terganggu oleh eksistensi orientasi bisnis, dimana pemerintah sempat meneken kebijakan vaksin berbayar. Karena tingginya resiko memperlambat herd immunity dan kritik dari masyarakat luas, beleid ini dicabut.

Webinar Hari HAM Internasional ini dibagi menjadi dua babak dalam dua hari. Jajaran pembicara lain juga hadir dari Komnas Perempuan dan YLBHI.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp