Mengeksplor Laporan Amnesty International Indonesia terkait Pembunuhan Ekstrayudisial di Papua

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Periset Junior Amnesty International Indonesia Heidira Hadayani diundang sebagai narasumber. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Untuk memperingati Hari HAM Internasional, Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR menggelar rangkaian webinar selama dua hari. Pada hari kedua, Sabtu pagi (11/12/2021), Periset Junior Amnesty International Indonesia Heidira Hadayani diundang sebagai narasumber. Disitu, ia memaparkan laporan terkait kasus-kasus pembunuhan ekstrayudisial (unlawful killings) di Papua serta pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani sebagai salah satu studi kasusnya.

Unlawful killings adalah pembunuhan yang melibatkan aktor negara sebagai pelakunya, atau pembunuhan yang dilakukan oleh aktor non-negara namun gagal di investigasi dan dituntut oleh otoritas negara. Heidira mengatakan bahwa dalam waktu satu dekade terakhir, Amnesty mencatat sekitar 121 kasus pembunuhan ekstrayudisial, memakan sekitar 200 korban di Papua dan Papua Barat. Jumlah tersebut terintensifikasi dalam periode 2018-2020, dengan 52 kasus dan 105 korban sendiri.

“Dalam waktu dua tahun terakhir tersebut, aktor utama pelaku pembunuhan tersebut adalah aparat keamanan yakni TNI-Polri. Bahkan motif dari pembunuhan ini banyak yang tidak terkait dengan aktivitas pro-kemerdekaan yang sedang bergejolak disana, namun terkait operasi militer,” ujar alumni UGM itu.

Dalam kasus-kasus unlawful killings di Papua, Heidira mencontohkan salah satu kejadian yaitu pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani. Ia adalah warga sipil dan merupakan tokoh masyarakat di Hidatipa, Intan Jaya. Heidira menambahkan bahwa Pdt. Yeremia dikenal sebagai sosok yang kritis terhadap operasi militer di Intan Jaya, namun ia selalu menolong dan berdoa dengan siapapun tanpa melihat afiliasi politiknya (entah itu aparat keamanan, maupun kelompok pro-kemerdekaan). Namun, ia dibunuh beberapa waktu setelah adanya konfrontasi antara aparat keamanan dengan kelompok pro-kemerdekaan di wilayah setempat.

“Namun pada 19 September 2019, istrinya menemukan Yeremia tergeletak di kandang babi miliknya dengan luka tusuk dan tembak. Dalam nafas terakhirnya, ia mengatakan bahwa pelaku yang menembaknya adalah tentara yang bertugas di Hitadipa,” cerita periset junior itu.

Heidira mengatakan bahwa pembunuhan pendeta ini masih belum menemukan titik terang. Menurutnya, kondisi ini menggambarkan budaya impunitas dalam berbagai kasus unlawful killings di Indonesia, terutama dalam Konflik Papua.

Ditekankan lagi oleh Heidira bahwa pembunuhan ekstrayudisial merupakan pelanggaran hak hidup, yang pemenuhannya dijamin dalam konstitusi Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia telah meratifikasi ICCPR yang menjamin terkait pengakuan dan pemenuhan hak hidup oleh pemerintah.

“Perlu dipahami juga, bahwa hak hidup merupakan non-derogable rights. Hal ini berarti bahwa pemenuhannya tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun,” tutup Heidira.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp