Catatan terkait Nasib Pemberantasan Korupsi di Indonesia Pasca TWK KPK

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Rasamala Aritonang saat akan menyampaikan materi dalam Webinar Hari HAM Internasional. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Dalam menyemarakkan peringatan Hari HAM Internasional, Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR mengadakan webinar pada Jumat siang (10/12/2021). Webinar ini mengupas tuntas terkait refleksi penegakan HAM di periode kedua Presiden Joko Widodo. Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Rasamala Aritonang, salah satu pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Disitu ia mendedah pelanggaran HAM yang terjadi dalam tes alih status tersebut, serta keterikatannya dengan regresi semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Rasamala tegas bahwa korupsi merupakan penyakit yang dapat menghalang berbagai realisasi konsep ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks pemenuhan HAM, telah banyak studi yang mengkorelasikan tingginya indeks persepsi korupsi bersandingan dengan tingkat pemenuhan HAM yang tinggi di suatu negara. 

“Dalam membersihkan elemen pemerintahan dari korupsi, itu merupakan sebuah PR yang rumit karena kita melawan pihak yang memiliki akses atau memiliki kekuasaan di sektor publik. Oleh karena itu, jalan KPK sejak awal pembentukannya di 2002 selalu ditemui berbagai upaya pelemahan,” tutur mantan Kepala Biro Hukum KPK itu.

Beberapa upaya pelemahan yang Rasamala catatkan adalah kriminalisasi dan penyerangan terhadap anggota dan pimpinan KPK, seperti kriminalisasi Antasari Azhar dan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Ia juga menyinggung terkait konfrontasi Cicak-Buaya yang berjilid-jilid, namun upaya pelemahan yang paling mujarab adalah di sektor revisi undang-undang.

“Wacana untuk merubah substansi UU KPK untuk membatasi wewenangnya telah ada sejak 2009, namun baru sukses pada tahun 2019 dengan didoknya UU 19/2019 oleh DPR. Disitu KPK yang sebelumnya adalah lembaga independen, diubah menjadi lembaga dibawah rumpun kekuasaan eksekutif. Konsekuensinya adalah pembatasan gerak-gerik KPK, serta merubah seluruh pegawai KPK dialihstatuskan menjadi ASN,” ujar lektor FH UNPAR itu.

Disinilah TWK KPK masuk, tiba-tiba menjadi persyaratan dalam alih status kepegawaian KPK. Rasamala mencatatkan berbagai pelanggaran HAM dalam geliatnya, terutama di konteks pertanyaan-pertanyaan tes yang abusif, seperti “apa aliran agama kamu,” “pilih Pancasila atau Al-Quran?” atau “kalau pacaran ngapain aja.” Tak hanya itu, 57 pegawai yang tidak lulus tes tersebut juga terkena stigmatisasi seperti “tidak nasionalis dan berwawasan kebangsaan” serta “Islam radikal/taliban” yang mempengaruhi kehidupan profesional dan personal mereka.

“Dugaan bahwa terjadi pelanggaran HAM di TWK KPK telah diafirmasi dalam temuan Komnas HAM. Bahkan eksistensi dari tes tersebut menurut Ombudsman merupakan bentuk maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang. Bahkan perintah Jokowi untuk tidak menjadikan TWK sebagai bentuk pemecatan juga tak digubris oleh pimpinan,” tegas anggota IM57+ itu.

Terakhir, Rasamala mencatatkan bahwa Indonesia sedang mengalami langkah mundur dalam pemberantasan korupsi. Hal ini dilihat dengan menurunnya indeks persepsi korupsi di Indonesia, serta menurunnya jumlah penyidikan dan OTT di KPK. Ia juga menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dengan keinginan politik dari pemegang kekuasaan untuk memiliki suatu pemerintahan yang bersih.

“Karena hampir semua masalah yang ada di negara ini, kalau diusut talinya pasti ditemui korupsi sebagai salah satu pemicunya,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp