Pirau Terpapar Sebagai Komplikasi Pirau Ventrikuloperitoneal: Suatu Serial Laporan Kasus

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh healthpointe.net

Shunting (pirau) merupakan salah satu teknik dalam bedah saraf untuk penanganan hidrosefalus. Hidrosefalus adalah akumulasi berlebih cairan serebrospinal (CSF) di dalam sistem ventrikel otak. Peningkatan jumlah CSF berlebih mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Hidrosefalus disebabkan oleh gangguan produksi, gangguan aliran atau gangguan proses penyerapan kembali pada cairan serebrospinal. Hidrosefalus dapat bersifat kongenital ataupun didapat. Berdasarkan patensi aliran CSF, hidrosefalus dibagi menjadi obstruktif dan komunikan.

Presentasi klinis hidrosefalus pediatrik bervariasi tergantung pada usia dan masing-masing kasus individu. Manifestasi klinis meliputi peningkatan lingkar kepala, iritabilitas, ubun – ubun penuh dan menonjol, dan gangguan bola mata. Studi MRI menjadi standar emas pada penegakkan diagnosa kasus hidrosefalus karena meminimalisir paparan radiasi dan dapat memberikan informasi yang lengkap.

Penatalaksanaan hidrosefalus meliputi pemasangan pirau dan ETV (endoscopic third ventriculostomy). Pirau dapat menjadi pilihan efektif pada kasus hidrosefalus. Pirau bertujuan untuk mengalirkan CSF ke dalam rongga tubuh bagian lain. Komplikasi yang dapat terjadi adalah pirau terpapar (exposed shunt).

Terdapat beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya infeksi pirau, salah satunya adalah pirau terpapar melalui kulit kepala. Hamdan dkk, melaporkan kasus paparan di kulit terjadi pada 3 dari 205 pasien dengan VP shunt. Pirau terpapar lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa. Infeksi yang terjadi di sekitar pirau, penekanan pada kulit terutama di daerah kulit lebih tipis dan lebih rapuh akan menyebabkan pirau terpapar. Meskipun angka kejadian pirau terpapar relatif jarang, jika tidak diterapi dapat menyebabkan nekrosis kulit kepala atau rusaknya jahitan.

Penelitian ini telah sesuai dengan kriteria SCARE dan PROCESS 2018. Semua prosedur VP shunt dilakukan oleh ahli bedah saraf senior yang telah melakukan pelatihan tambahan dalam subspesialisasi bedah saraf pediatri. Pemasangan VP shunt elektif dilakukan pada 71 kasus dan pemasangan VP shunt darurat sebanyak 230 kasus. Insiden pirau terpapar adalah 1,9% (6/301). Faktor risiko yang diteliti meliputi usia pemasangan pirau, status gizi saat lahir, dan hipoalbuminemia.

Analisis hasil penelitian ini dilakukan dari semua kasus yang dirawat dalam periode 1 tahun dari Januari hingga Desember 2018 dengan kriteria inklusi riwayat pemasangan pirau dari semua kelompok umur. Penelitian ini merupakan laporan retrospektif tunggal dari presentasi klinis dan pemeriksaan radiologi sebelum dan sesudah perawatan. Pemeriksaan klinis dilakukan untuk mencari komplikasi pirau terpapar. Dilaporkan terdapat 6 pasien dengan hidrosefalus yang mengalami pirau terpapar.

Pemeriksaan klinis dilakukan untuk mencari komplikasi pirau yang terpapar. Pasien datang ke ruang gawat darurat dan klinik bedah saraf di rumah sakit kami dengan keluhan utama yang sama yaitu luka pada kulit. Distribusi umur berkisar antara 2 bulan sampai 6 tahun. Berdasarkan usia, pasien anak lebih mungkin memerlukan revisi daripada orang dewasa. Komplikasi pirau pada anak memiliki kemungkinan 4,22 kali lipat lebih besar untuk revisi pirau dibandingkan dengan orang dewasa. 

Enam pasien dalam rangkaian kasus diatas dipasang pirau di bawah usia 1 tahun. Keenam pasien dalam rangkaian kasus ini memiliki status gizi buruk berdasarkan berat badan mereka. Pasien pertama dengan berat badan 15 kg (<50 persentil), pasien kedua dengan berat badan 9 kg (<50 persentil), pasien ketiga dengan berat badan 5 kg (<50 persentil), pasien keempat dengan berat badan 8 kg (<50 persentil), pasien kelima dengan berat badan 15 kg (<3 persentil), dan pasien keenam dengan berat badan 7,5 kg (<50 persentil). Status nutrisi yang buruk dicurigai merupakan faktor risiko penting untuk pirau terpapar. Keenam pasien tersebut juga memiliki kulit yang tipis.

Pada keenam pasien tidak didapatkan kebocoran CSF. Empat dari enam pasien dilakukan analisis CSF. Salah satu CSF pasien mengalami peningkatan jumlah sel, PMN dan MN serta hasil Nonne dan Pandy positif. Pasien lain menunjukkan CSF dengan batas normal. Integritas kulit yang lebih rapuh membuat pirau lebih mudah menonjol keluar. Kultur CSF diperlukan untuk mengkonfirmasi infeksi. Infeksi CSF merupakan faktor penentu apakah pirau dipertahankan atau dilepas.

Pemasangan pirau masih merupakan terapi rutin di bidang bedah saraf, meskipun modalitas lain seperti ETV sudah mulai lebih sering dilakukan. Komplikasi seperti pirau yang terbuka jarang sekali terjadi (angka kejadian 2,3%). Kami mempresentasikan pirau terpapar  yang mungkin disebabkan oleh faktor risiko tertentu, seperti usia pasien saat shunting dilakukan, dan status gizi. Diagnosis dan pengobatan dini penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, terutama infeksi.

Penulis: Dr. Muhammad Arifin Parenrengi, dr., Sp.BS(K)

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2210261221000869

Wihasto Suryaningtyas, I.G.M. Aswin R. Ranuh, Muhammad Arifin Parenrengi, “Shunt exposure as a ventriculoperitoneal shunt complication: A case Series,” Published by Elsevier., International Journal of Surgery Case Reports 79 (2021) 484–491 doi.org/10.1016/j.ijscr.2021.01.084

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp