Metode Non Invasif sebagai Solusi terhadap Traumatik Pemeriksaan Gula Darah pada Pasien Diabetes Mellitus

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh bangopit.id

Penyakit tidak menular (PTM) menjadi permasalahan kesehatan yang serius di Indonesia, yang secara nasional telah menduduki sepuluh besar penyakit penyebab kematian dan kasus terbanyak. Salah satu penyakit yang termasuk dalam golongan PTM adalah diabetes mellitus (DM) Toharin et al., 2015. Diabetes mellitus biasa disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit lainnya. Gejala yang dikeluhkan oleh penderita DM yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan, dan kesemutan (Buraerah, 2010). Diabetes mellitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat dari kekurangan sekresi insulin, gangguan aktivitas insulin atau keduanya (Bulu et al., 2019). Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. (Depkes, 2005; Amir et al., 2015).

World Health Organization (WHO) (2006) menemukan bahwa Indonesia masuk ke dalam sepuluh besar negara dengan jumlah kasus DM tipe 2 terbanyak di dunia dan diprediksi akan mencapai 21,3 juta orang penderita pada tahun 2030. Berdasarkan data dari Riskesda, 90 % pasen kencing manis terdiagnosa DM tipe 2 dan dari jumlah tersebut sebagian besar tidak menyadari jika mereka mengidap DM sehingga dapat menimbulkan komplikasi (Qasim & Haskas, 2018).

Komplikasi DM dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan penderitanya dan memiliki peningkatan risiko terjadinya komplikasi seperti penyakit jantung, stroke, neuropati di kaki yang dapat meningkatkan kejadian ulkus kaki infeksi bahkan keharusan untuk amputasi, retinopati, gagal ginjal dan dapat mengancam jiwa bahkan kematian apabila tidak segera ditangani dan dilakukan pengontrolan yang tepat (Wulan et al., 2020). Menurut Konsensus Pengendalian dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia pada tahun 2011, perilaku sehat yang merepresentasikan self-management pada pasien DM antara lain mengikuti pola makan sehat, meningkatkan kegiatan jasmani, memakai obat DM dan obat pada keadaan khusus secara aman serta teratur, melakukan pemantauan kadar gula darah, dan melakukan perawatan berkala (Saputri, 2020).

Menurut (Ayuni, 2020) diabetes mellitus tipe 2 merupakan DM yang paling umum dijumpai di masyarakat, biasanya terjadi pada usia 30 tahun ke atas. Pada DM tipe 2 pankreas masih mampu untuk memproduksi insulin namun insulin yang dihasilkan buruk dan tidak dapat berfungsi dengan baik untuk memasukkan glukosa ke dalam sel, sehingga dapat mengakibatkan glukosa didalam darah meningkat. Terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan perubahan kadar gula darah pasien dengan diabetes mellitus tipe 2(Fandinata & Darmawan, 2020)Menurut (Irwansyah & Kasim, 2020) bahwa diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan kurangnya atau ketidak mampuan pangkreas memproduksi insulin sama sekali dalam darah sehingga menimbulkan berbagai komplikasi yang berujung pada kematian.

Pengelolaan DM bertujuan mengontrol kadar gula darah tetap dalam batas yang normal untuk mencegah komplikasi akut dan kronik. Fenomena yang terjadi adalah kurangnya kepatuhan penderita DM dalam mengontrol glukosa darahnya. Faktor psikologis merupakan suatu hambatan yang cukup banyak dialami oleh pasien, seperti takut terhadap hasil yang kemungkinan ditemukan atau kondisi penyakit-penyakit yang lain. Rasa trauma yang diakibatkan oleh pengalaman sebelumnya berkaitan dengan kondisi hipoglikemia (Fajrunni’mah et al., 2017). Selain itu trauma yang diakibatkan oleh luka memar yang ditinggalkan pasca pengambilan sampel darah merupakan penghambat keinginan pasien melakukan pemeriksaan rutin gula darah (Wahyuningrum et al., 2020).

Jumlah penderita diabetes semakin hari semakin bertambah besar dimana untuk mengetahui seseorang mengidap penyakit diabetes adalah dengan menguji kadar gula dalam darah. Alat pengukur glukosa darah berdasarkan aspek perusakan bagian tubuh dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni invasif (merusak) dan non-invasif (tidak merusak). Metode invasifmelibatkan proses pengambilan darah baik melalui pembuluh darah perifer maupun pembuluh darah vena. Proses pengambilan darah ini sangat beresiko diantaranya dapat menimbulkan memar pada kulit, pembengkakan, kemerahan serta dapat menimbulkan ketidaknyamanan, dan rasa sakit. Bahkan pada sebagian orang dapat menimbulkan rasa traumatis sehingga tidak heran bila beberapa penderita menolak untuk menerima proses pengambilan darah. Alat ukur glukosa darah yang beredar di masyarakat saat ini merupakan alat glucometer yang bekerja secara invasif. Metode yang paling berpotensi sebagai alternatif adalah metode non-invasif, yakni metode pengukuran biomarker tubuh yang tidak menerapkan perusakan bagian tubuh untuk mendapatkan sampel darah. Metode spektroskopi merupakan metode pengukuran kadar glukosa darah non-invasif yang dilaporkan paling banyak digunakan. Pengukuran secara non-invasif atau tanpa melukai tubuh ini memanfaatkan fenomena optik berupa terjadinya penyerapan cahaya pada panjang gelombang spesifik glukosa darah (Hazan, 2017; Satria, 2013).

Teknik sampling non invasif lainnya dapat dilakukan untuk pemeriksaan kadar gula darah secara kuantitatif menggunakan metode elektrometri diantaranya voltammetri dan potensiometri. Metode ini mampu mendeteksi kadar glukosa darah hingga konsentrasi 1 mg/dL. Nilai tersebut berada pada kisaran hingga 100 kali lebih rendah dibandingkan metode kuantitatif yang digunakan pada laboratorium medis. Dengan demikian pengambilan sampel darah tidak perlu dilakukan melalui pembuluh darah perifer atau vena, melainkan dengan cara menusuk jari dengan jarum kemudian mengambil setetes darah yang keluar dari jari dan mengencerkannya hingga volume yang diperlukan (Khasanah et al., 2020; Djunaidi, et al., 2021)

Menurut Rouphael et al (2017), pemeriksaan penunjang terhadap DM dapat dilakukan melalui tes glukosa darah dengan finger stick, yaitu jari ditusuk dengan sebuah jarum. Sampel darah diletakkan pada sebuah strip yang dimasukkan ke dalam celah pada mesin glukometer. Pemeriksaan ini digunakan hanya untuk memantau kadar glukosa darah secara rutin. Pemeriksaan gula darah menggunakan glukometer ini hanya memerlukan waktu 5-10 detik. Hal ini dapat menjadi sebuah solusi bagi para penderita DM. Meskipun kadar yang diperoleh merupakan angka kisaran, dengan menggunakan alat sederhana dan ekonomis tersebut dapat dilakukan pengukuran kadar gula darah secara mandiri oleh pasien tanpa harus ke klinik atau rumah sakit (Maulidiyanti, 2018).

Penulis: Miratul Khasanah

Link Jurnal: https://jurnal.ugm.ac.id/ijc/article/view/58964

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp