Hubungan Antara Vitamin D/25(OH)D dan TLR2 pada Penderita SLE

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Tehran Times

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun sistemik kronik yang memiliki manifestasi sistemik yang melibatkan banyak system organ. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan prevalensi terjadinya SLE di Asia-Pasifik berkisar 4,3-45,3 (per 100.000). Etiologi dari SLE bisa dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang telah diidentifikasi sebagai penyebab SLE adalah infeksi virus (Epstein Barr Virus), perokok, paparan bahan kimia (Merkuri, Pestisida, kosmetik, asbes), polusi udara, sinar matahari, obat-obatan (Hydralazine, Metildopa, Klorpromazin, Kuinidin, Prokainamid). Faktor predisposisi lainnya adalah usia, jenis kelamin dan nutrisi. Salah satu faktor nutrisi yang mungkin menjadi faktor pencetus terjadinya SLE adalah kekurangan vitamin D.

Penelitian telah menunjukkan bahwa rendahnya tingkat vitamin D berkaitan dengan munculnya SLE. Konsentrasi vitamin D yang rendah pada SLE berhubungan dengan tingginya aktivitas penyakit, sedangkan peningkatan konsentrasi vitamin D berhubungan dengan penurunan aktivitas penyakit. Disregulasi imunitas bawaan pada SLE ditunjukkan dengan pembentukan autoantibodi dan sitokin oleh reseptor seperti tol transmembran (TLR). Peran TLR2 dalam pengenalan mikroorganisme patogen juga ditemukan dalam aktivitas oral, dengan demikian ekspresi TLR2 yang rendah di rongga mulut akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi pada pasien SLE.

Penurunan vitamin D pada SLE juga dapat berdampak pada ekspresi TLR2 dalam sel imun di rongga mulut seperti monosit, neutrofil, sel dendritik, sel alami (NK), B sel, sel T, T regulator (T Reg). Sel-sel pertahanan tubuh dalam saliva yang berasal dari kelenjar parotis, darah, sel memiliki peran penting dalam respon imun yang dimediasi TLR2. Fakta bahwa vitamin D memiliki kontribusi penting terhadap fungsi sel imun terutama dalam pengenalan patogen di rongga mulut, vitamin D mungkin berkorelasi dengan ekspresi TLR 2 sel imun di saliva pada pasien SLE.

Studi pertama yang menyelidiki asosiasi antara konsentrasi serum vitamin D/25 (OH)D dan ekspresi TLR2 ekspresi sel imun (sel CD11b+) dalam saliva pada pasien SLE. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata usia subjek SLE kira-kira berumur 27 tahun. Ditemukan juga bahwa mayoritas subjek adalah perempuan (96%) dengan rentang usia 12-50 tahun. Hasil penelitian sesuai dengan fakta bahwa penderita SLE lebih sering terjadi pada wanita dengan persentase sekitar 90% dan rasio antara wanita dan pria adalah 9-15: 1. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai rata-rata vitamin serum Konsentrasi D/25(OH)D, adalah 9,98 ng/ml.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa pasien SLE memiliki konsentrasi vitamin D yang rendah . Tingkat rendah vitamin D dapat menyebabkan gangguan fungsi imunomodulator dan dapat menyebabkan disregulasi sistem kekebalan tubuh pada penderita  SLE. Kekurangan vitamin D juga telah dianggap sebagai salah satu etiologi SLE yang berkontribusi terhadap terjadinya komplikasi. Fungsi Vitamin D sebagai imunomodulator dikaitkan dengan adanya reseptor vitamin D (VDR). VDR diekspresikan dalam sel tubuh, termasuk di kedua sel imun bawaan, (yaitu neutrofil, makrofag) dan sel imun seluler seperti Antigen-presenting cells (APC), sel dendritik, sel CD4+ dan CD8+T.

Subyek pada penelitian yang dilakukan sebagian besar diobati dengan kortikosteroid sistemik. Sembilan puluh tiga persen subjek mengkonsumsi metilprednisolon. Methylprednisolone adalah obat antiinflamasi steroid moderate yang umum digunakan untuk mengurangi peradangan pada SLE. Metilprednisolon memiliki efek antagonis pada vitamin D. Namun, konsumsi kortikosteroid hingga 6 bulan tidak berpengaruh pada status vitamin D dalam serum. Karena durasi SLE tidak melebihi 6 bulan, oleh karena itu kemungkinan pengaruh kortikosteroid (metilprednisolon) konsentrasi vitamin D pada serum dapat dikesampingkan. Tingkat konsentrasi vitamin D yang rendah dalam hal ini mungkin disebabkan oleh dua faktor, relatif  disebabkan karena kurang asupan makanan yang kaya akan sumber vitamin D. Faktor lainnya adalah kurangnya sintesis vitamin D di kulit melalui paparan sinar ultraviolet B (UVB) dari sinar matahari yang merupakan sumber vitamin D dalam tubuh. Terdapat pengaruh positif yang signifikan antara konsentrasi serum vitamin D/25(OH)D dan ekspresi TLR 2 sel CD11b+ dalam saliva penderita SLE. Korelasi ini dapat menjelaskan peran penting vitamin D dalam respon pertahanan di rongga mulut pada penderita SLE.

Penulis: Diah Savitri Ernawati

Tulisan lengkap kami dapat dilihat di: https://www.jomos.org/articles/mbcb/full_html/2021/02/mbcb200138/mbcb200138.html

Hendri Susanto, Bagus Soebadi, Diah Savitri Ernawati, Adiastuti Endah Pamardiati, Hening Tuti Hendarti, Iwan Hernawan, Desiana Radithia, Awalia. 2021. Journal of Oral Medicine and Oral Surgery.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp