Pulau Sebatik Kalimantan Utara: “Menciptakan” Warga Negara di Sekolah Perbatasan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by IDN Times

Pulau Sebatik merupakan satu dari 35 pulau-pulau kecil yang memiliki perbatasan laut dengan negara lain. Pulau ini berbatasan dengan Tawau-Sabah Malaysia. Salah satu persoalan penting yang dihadapi oleh masyarakat pulau ini adalah belum optimalnya pendidikan. Dengan kata lain, wilayah yang sangat jauh dari pusat kekuasaan atau wilayah yang sulit dijangkau, seperti wilayah perbatasan menjadi daerah dimana kehadiran negara bisa/sering dianggap hampir tidak ada (non-state place). Dalam kondisi demikian, sejumlah persoalan akan muncul. Pertanyaan-pertanyaan tentang identitas, jati diri, dan karakter bangsa misalnya, memiliki konsekuensi yang besar  dalam mempengaruhi cara pandang mereka terhadap negara dan dirinya karena mengkelindankan lapis-lapis identitas sebagai warga desa, anggota dari kelompok etnik, warga negara, kelas, dan berbagai kategori kompleks lainnya. Hal ini terjadi karena bagi komunitas di wilayah perbatasan, identitas yang berakar pada asosiasi lokal ataupun regional sifatnya lebih signifikan dalam kehidupan mereka sehari hari. Nasionalisme sebagai sebuah idealisasi dari keberadaan yang solid dari sebuah negara menghadapi banyak pertanyaan besar ketika dipandang dalam perspektif kehidupan di wilayah perbatasan (Puryanti 2016).

TKI dan  Persoalan Pendidikan di Pulau Sebatik

Banyaknya TKI yang bekerja di Sabah Malaysia mendatangkan persoalan yang komplek. Salah satu permasalahan itu adalah pendidikan bagi anak TKI terutama yang berada di perkebunan sawit. Data menunjukkan bahwa terdapat lebih kurang 53.000 anak anak para TKI yang membutuhkan akses pendidikan. Persoalan pendidikan di Pulau Sebatik, tidak hanya berkaitan dengan persoalan fasilitas yang sangat tidak memadai, tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana mengajarkan persoalan jati diri dan karakter sebagai bangsa Indonesia. Penguatan aspek ini dalam pendidikan di wilayah perbatasan sangat penting. Masalahnya adalah apakah dan hal apa pemerintah telah melakukan upaya ini dengan maksimal. Upaya-upaya alternative apa yang dapat dilakukan  untuk membantu pemerintah mengurai benang kusut pendidikan di wilayah perbatasan, khususnya yang berkaitan dengan persoalan jati diri dan karakter bangsa.

Pendidikandi Pulau Sebatik memiliki beberapa persoalan penting, antara lain infrastruktur, sumber daya manusia, geografi (jarak pemukiman dengan sekolah), sikap mental siswa, orang tua, dan guru. Di tingkat sekolah dasar, sejak tahun 2015 hingga 2017 jumlah sekolah tampaknya tidak mengalami peningkatan, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta dalam hal ini Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi keagamaan seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan seminari.

Berkaitan dengan pendidikan riset mengidentifikasi berbagai persoalan pendidikan di Pulau Sebatik. Berbagai persoalan tersebut adalah (1) secara umum rasio antara guru dan murid tidak berimbang, murid-murid yang ada cenderung lebih sedikit, kecuali pada kecamatan tertentu yang rasionya tidak berimbang. Sedikitnya jumlah anak-anak yang bersekolah atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi bisa jadi disebabkan oleh kurangnya minat siswa untuk bersekolah atau melanjutkan pendidikannya; (2) untuk anak-anak yang tinggal di Sebatik menghadapi perosoalan berupa kendala geografis, yakni jauhnya jarak antara sekolah dengan tempat tinggal mereka. Anak-anak yang bersekolah harus menempuh perjalanan puluhan kilometer pulang-pergi; (3) pemerintah sebenarnya sudah melakukan beberapa hal untuk membantu anak-anak di perbatasan untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang pendidikan, khususnya mereka yang menetap di Sebatik Malaysia.  

Upaya tersebut antara lain mendirikan sekolah-sekolah Indonesia di beberapa perkebunan Malaysia. Namun demikian, mengingat terbatasnya sekolah tersebut maka upaya yang sudah dilakukan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil anak-anak usia sekolah; (4) beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat  (LSM) maupun lembaga keagamaan, sudah melakukan beberapa upaya membantu pemerintah agar anak-anak pulau ini menikmati pendidikan. Upaya tersebut antara lain mendirikan Sekolah Tapal Batas di Sebatik Tengah, mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), di Aji Kuning, dan mendirikan Pondok Pesantren Mutiara Bangsa. Akan tetapi, berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak swasta seperti Sekolah Tapal Batas tidak bisa maksimal. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumber daya, baik dana maupun sumber daya manusia. Tidak jarang, guru yang sudah mengajar beberapa waktu di perbatasan harus keluar karena mereka tidak betah dengan fasilitas dan gaji yang sangat minim.

Penulis: Sarkawi B. Husain, Lina Puryanti, dan Adi Setijowati

Informasi detail tentang riset ini dapat dilihat dalam tulisan kami di: https://so04.tci-thaijo.org/index.php/kjss/article/view/255754/173074

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp