Tantangan dan Alternatif Pertanggungjawaban Konflik HAM atas Dampak Kabut Asap menurut Dekan FH UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengadakan diskusi publik dengan judul “Asap yang Tak Lenyap: Menuntut Pertanggungjawaban Dampak Multidimensi atas Kabut Asap di Kalimantan Tengah.” (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengadakan diskusi publik dengan judul “Asap yang Tak Lenyap: Menuntut Pertanggungjawaban Dampak Multidimensi atas Kabut Asap di Kalimantan Tengah”, pada Senin pagi (29/11/2021). Salah satu narasumber yang dihadirkan dalam diskusi tersebut adalah Dekan FH UNAIR Iman Prihandono, Ph.D.

Iman mengatakan bahwa proses yudisial untuk pertanggungjawaban dampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidaklah mudah. Beberapa putusan seperti putusan Mahkamah Agung untuk karhutla tahun 2015 dapat menjadikan Pemerintah Indonesia akuntabel atas konflik tersebut. Namun nyatanya, putusan tersebut hingga saat ini masih enggan dilaksanakan oleh pemerintah. Ia menambahkan bahwa tak sedikit putusan-putusan yang menjadikan pemerintah dan/atau korporasi akuntabel itu eksekusinya tidak efektif. Dari sini, pemulihan bagi korban menjadi terhalang.

Iman mendasarkan kerangka agar pemulihan korban kabut asap pada UNGPs (Konvensi Bisnis dan HAM), yang pilar ketiganya adalah pemulihan apabila terjadi pelanggaran HAM akibat bisnis. Menyandingkan karhutla dengan konvensi ini relevan, karena ia terpicu oleh aktivitas bisnis seperti kelapa sawit. Ia juga menambahkan bahwa dampak dari karhutla ini adalah suatu problematika HAM.

“Dalam realisasi pilar tersebut, diperlukan adanya peran aktif dari national human rights institution (NHRI), yang dalam konteks Indonesia adalah Komnas HAM. Komnas HAM memiliki beberapa mandat pemulihan yang relevan dengan kasus kabut asap. Mandat pemantauan seperti penyelidikan dan pemeriksaan, serta mandat untuk melakukan mediasi,” ujar pakar Bisnis dan HAM itu.

Namun dalam praktiknya di lapangan, tentu ditemui banyak tantangan. Hal ini dikarenakan bahwa kasus kabut asap memberikan dampak pada banyak orang, namun dampaknya berbeda-beda. Sehingga, pemulihannya juga harus berbeda-beda. Iman juga mengatakan bahwa klasifikasi dan pemeriksaan terkait aktor korporasi yang menyebabkan karhutla juga sulit karena seabreknya jumlah korporasi di daerah karhutla seperti Kalimantan Tengah. Problem lainnya yang dipoinkan oleh Iman adalah sulitnya mencapai persetujuan melalui metode mediasi yang basisnya sukarela antara pihak yang bersengketa.

“Untuk itu, perlu banyak sekali kajian lebih lanjut untuk maksimalisasi peran Komnas HAM dalam mengawal kasus-kasus kabut asap ini agar korban dapat mendapatkan keadilan. Cara lain adalah mengikuti tren baru dalam dunia hukum, yakni climate change litigation atau climate change proceedings. Dari situ, korporasi dapat diminta akuntabilitas dan pertanggungjawaban apabila aktivitasnya berkontribusi pada krisis iklim, yang merupakan problem HAM tersendiri. Dalam konteks kabut asap, hal tersebut menurut saya relevan karena ia juga dapat berkontribusi pada krisis iklim. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa metode ini memandang bahwa mitigasi iklim adalah bentuk pemenuhan HAM,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp