Mantan Menteri Luar Negeri Thailand Berikan Kuliah Umum Terkait Masa Depan ASEAN

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Mantan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya saat memaparkan kuliah umum di AIYC 2021. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Seri kedua dari ASEAN Intervarsity Youth Competition 2021 (AIYC 2021) diadakan pada Sabtu (27/8/2021). Kompetisi kuis dan orasi ini diadakan oleh Prince of Songkla University dengan menggandeng kerjasama dari UNAIR dan Universiti Utara Malaysia. Sebelum ronde final orasi dimulai, rangkaian acara AIYC 2021 dimulai dengan kuliah umum oleh Mantan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya. Selama kurang lebih sejam, Piromya memaparkan terkait gambaran masa depan alternatif ASEAN yang lebih improved.

Untuk itu, Piromya melihat balik sejarah ASEAN yang ia bagi jadi tiga bagian. First wave (1967-1991) dilihat dibentuknya ASEAN di wilayah Asia Tenggara karena adanya kesatuan ideologi anti-komunisme, sehingga ingin membangun ekonomi kapitalis di wilayah tersebut. Dari situ terbangun adanya regionalisme dalam sistem perekonomiannya. Masuk pada second wave (1992-2007), negara ASEAN mulai memunculkan ASEAN Initiative yaitu membantu negara-negara di wilayah tersebut yang masih belum berkembang seperti Kamboja dan Laos. Di third wave (2008-sekarang), komunitas ASEAN telah menjadi rule-based organization pasca disahkannya ASEAN Charter. Disitu, ASEAN bertumpu pada posisi netral di politik internasional, dan bergerak di tujuan yang sama terutama di bidang ekonomi.

“Namun dengan posisi ASEAN yang netral dan pergerakannya dipicu pada pemajuan sosio-ekonomi, perlu dimunculkan tanya apakah hal tersebut masih relevan? Pertanyaan tersebut hadir karena adanya pertandingan hegemoni antara Amerika Serikat dan Cina. Dengan adanya konflik Laut Cina Selatan yang berdampak pada geliat perekonomian negara-negara ASEAN, apakah posisi netral itu dapat tetap kondusif?” tutur diplomat itu.

Posisi netral di ASEAN juga tidak sempurna menurut Piromya. Di fase ketiga, ASEAN telah berkomitmen untuk memajukan demokrasi dan HAM. Namun kenyataannya, negara-negara seperti Brunei, Thailand, Kamboja, dan Laos masih mempraktikkan rezim monarki absolut atau otoritarian. Demi pemajuan sosio-ekonomi, ia berpendapat bahwa ASEAN hendaknya mulai mengambil posisi untuk mendukung salah satu dari kedua kekuatan hegemonik itu. 

”Antara kita berpihak pada Amerika Serikat yang kapitalis liberal, atau kita berpihak pada China yang kapitalis otoriter. Harus ada satu posisi yang jelas, karena terbentuknya ASEAN juga dibentuk karena ketakutan bersama terhadap penyebaran paham komunisme di kala Perang Dingin,” ujar alumni Georgetown University itu.

Menurutnya, sentralitas dan netralitas ASEAN dengan geliat politik internasional kiwari ini akan menjadi tak signifikan apabila dipertahankan. Piromya mengatakan bahwa tak seharusnya suatu wilayah memiliki model rezim yang berbeda dengan tingkat demokrasi yang berbeda-beda. Selain itu, ia akan menjadi penghalang dalam pemajuan sosio-ekonomi wilayah tersebut. Terakhir Piromya mengatakan bahwa alternatif masa depan dalam memilih kemana ASEAN harus mendukung, ia harus bertumpu pada cita-cita ASEAN sebagai people-centred region.

“Kita tak bisa menjadi people-centred region apabila kita masih menindas masyarakat kita sendiri dan tak menghormati kewajiban pemenuhan HAM,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp