Pelaporan Environmental, Social, and Governance pada Perusahaan yang Mengalami Kesulitan secara Finansial di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh askken.ca

Beberapa penelitian menemukan hubungan negatif antara pelaporan ESG dan kinerja perusahaan (Bhandari & Javakhadze, 2017; Deng et al., 2013; Di Giuli & Kostovetsky, 2014). Argumen tersebut didasarkan pada fakta bahwa perusahaan berorientasi ESG yang perlu menunjukkan komitmen ESG mereka biasanya mengorbankan sumber daya keuangan mereka, dan pada saat yang sama tidak diinginkan oleh semua pemangku kepentingan (Farooq & Noor, 2021). Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa manfaat pelaporan (atau investasi) ESG mungkin tidak dirasakan dalam semua keadaan (Revelli & Viviani, 2015). Mungkin ada kondisi di mana perusahaan tidak merasakan manfaat pelaporan ESG. Manajemen beberapa perusahaan mungkin mempertanyakan ketidakkonsistenan hasil ini. Dengan demikian, pertanyaan seperti apakah pelaporan ESG berhasil dalam kondisi perusahaan saat ini atau apakah pelaporan ESG merupakan solusi bagi perusahaan, biasanya diajukan oleh manajemen.

Pelaporan ESG terkait erat dengan citra, merek, dan reputasi perusahaan (Ismail et al., 2019), dan nilai-nilai keberlanjutan tersebut lebih dihargai daripada nilai-nilai lain oleh kaum milenial (Smith & Brower, 2012; Brown & Vergragt, 2016). Idealnya, keunggulan ini harus lebih merangsang bagi perusahaan yang sangat ingin meningkatkan kinerja keuangan mereka. Misalnya, perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan yang cenderung menghentikan operasinya dan bangkrut akan berupaya memulihkan kondisi keuangannya lebih dari perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Alasan-alasan ini konsisten dengan teori manajemen kesan yang memanfaatkan pengungkapan diskresioner sebanyak mungkin untuk mencapai tujuan perusahaan (Merkl-Davies & Brennan, 2007; Leary & Kowalski, 1990).

Di sisi lain, perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan mungkin tidak memberikan pelaporan ESG berkualitas tinggi. Perilaku ini bukan karena mereka tidak mau, melainkan karena mereka tidak memiliki modal yang cukup dalam bentuk keuangan dan keahlian. Adalah umum bagi perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan untuk memiliki akses terbatas ke strategi, sehingga memaksa mereka untuk menerapkan strategi berbiaya rendah. Berdasarkan teori Conservation of Resources (COR), manajemen perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan adalah tidak rasional, dan ketakutan mereka akan kehilangan sumber daya mengurangi keinginan mereka untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi (Buchwald & Schwarzer, 2010; Hobfoll et al., 2018). Sifat psikologis ini menghalangi perusahaan untuk menyediakan pelaporan ESG berkualitas tinggi.

Metode dan Hasil

Saya bersama Fajar Kristanto Gautama Putra, Bayu Arie Fianto, dan Wan Adibah Wan Ismail telah menguji hubungan antara kesulitan keuangan (financial distress) dan pengungkapan environmental, social, dan governance (ESG). Penelitian ini menggunakan data perusahaan non-keuangan Indonesia yang terdaftar dari tahun 2010 hingga 2018, yang berjumlah 459 pengamatan tahun perusahaan.

Kami berhipotesis bahwa perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan tergoda untuk meningkatkan pengungkapan ESG karena memberikan kinerja yang lebih tinggi dalam hal perspektif keuangan dan pasar. Pengungkapan ESG membutuhkan sumber daya yang substansial, yang mungkin tidak dapat disediakan oleh perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Di lingkungan Indonesia, kami menemukan bahwa perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan memiliki kualitas pengungkapan ESG yang lebih rendah daripada perusahaan yang tidak mengalami kesulitan. Hasil kami kuat karena pengujian dengan lagged variable, Heckman’s two stages, dan coarsened exact matching menunjukkan hasil yang konsisten. Hasil penelitian kami konsisten dengan pengujian pada tiga tahun masa kesulitan keuangan dan semua bagian dari pelaporan ESG, kecuali bagian informasi umum.

Penelitian kami sangat penting karena kontribusinya. Pertama, penelitian ini adalah salah satu dari sedikit studi yang berfokus pada pelaporan ESG, sehingga penelitian ini dapat membantu penyelesaian keterkaitan dari kontribusi studi pelaporan ESG yang komprehensif. Kedua, penelitian ini menggunakan teori psikologi bernama teori COR. Hasil ini diyakini sebagai bukti empiris bahwa disiplin bisnis dan psikologi tidak dapat dipisahkan. Ketiga, penelitian kami menegaskan bahwa kesulitan keuangan masih tetap menjadi faktor utama dalam ketidakhadiran perusahaan dari pelaporan ESG yang memenuhi syarat selama tiga tahun periode rolling-window dalam penelitian ini. Hasil ini menyoroti bahwa dampak psikologis dari perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan berlangsung lebih lama dan tidak mudah dipulihkan. Kontribusi keempat adalah bahwa studi ini menggunakan data yang kuat di seluruh seri standar pelaporan ESG dengan mempertimbangkan setiap komponen pelaporan ESG.

Selain kontribusi teoritis, penelitian ini memberikan beberapa kontribusi praktis. Bagi pemerintah, ini mungkin menunjukkan bahwa jika pemerintah ingin meningkatkan kualitas pelaporan ESG perusahaan, meminimalkan jumlah perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan juga harus menjadi pertimbangan. Terakhir, meskipun penelitian ini tidak melihat usaha kecil-menengah (UKM), sebagian besar UKM juga mengalami kesulitan keuangan dan rentan untuk keluar dari bisnis, terutama pada tahap awal. Studi ini secara tidak langsung menunjukkan alasan mengapa UKM enggan terlibat dalam kegiatan ESG, termasuk pelaporannya.

Penulis: Iman Harymawan, S.E., M.BA., Ph.D.

Link Jurnal: https://www.mdpi.com/2071-1050/13/18/10156/htm

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp