Diskusi Cyber Demokrasi, Khairul sebut Ruang Digital bisa Menjadi Ajal bagi Demokrasi Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan media sosial memberikan kemudahan akses bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya. Kebebasan dalam ruang digital itu biasa disebut dengan istilah cyber demokrasi. Namun, kebebasan tersebut justru banyak disalahgunakan oleh banyak orang untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Bertolak dari hal itu, HIMA Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan talkshow nasional bertajuk “Polemik Freedom of Speech sebagai Penerapan Cyber Demokrasi di Indonesia”.

Sebagai salah satu pemateri, Khoirul Fahmi menilai kebebasan di ruang digital saat ini semakin membahayakan dan bisa melahirkan terjadinya kripto anarkisme. Yaitu kondisi dimana ingin menciptakan suatu masyarakat yang di dalamnya berisikan individu bebas yang berkumpul secara egaliter tanpa adanya hierarki.

Berdasarkan pengamatannya, dia menyebutkan bahwa ruang digital banyak digunakan sebagai wadah untuk melakukan ujaran kebencian, polarisasi politik, dan menyebarkan konten-konten yang bernuansa negatif.

“Ruang digital seolah-olah menjadi arena anarki. Setiap orang memiliki kebebasan yang tidak bertanggungjawab dan ujaran kebencian lebih mudah dilakukan karena tidak bertemu langsung,”  terangnya pada Minggu (21/11/2021).

Padahal, menurut pria yang kerap disapa Khairul itu, ruang digital sebenarnya bisa menjadi masa depan demokrasi yang membantu masyarakat dalam menyampaikan dan membangun opini, menemukan orientasi politik, dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan. Oleh karena itu, dirinya menyebut peran negara harus hadir untuk mengatasi kondisi anarki tersebut.

“Negara harus hadir sebagai regulator. Tanpa adanya regulator yang baik, ruang digital justru bisa menjadi ajal bagi demokrasi Indonesia,” ucap CO-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISEES) itu.

Menurut alumni Ilmu Politik UNAIR tahun 1993 itu, regulator yang baik memiliki tiga ciri. Di antaranya yakni mampu memfasilitasi ruang-ruang kebebasan berpendapat, memberikan definisi yang jelas atas apa yang disebut sebagai kebaikan bersama atau commond good, dan mengetahui batasan intervensi yang dilakukan.

“Kebebasan itu memabukkan. Ketika diberikan, masyarakat akan terus menerus meminta tanpa adanya batasan yang jelas dan bisa membahakan individu maupun kelompok. Dalam hal ini, negara sebagai regulator sangat penting untuk memberikan batasan itu,” jelasnya mengakhiri sesi pemaparan.

Penulis : Nikmatus Sholikhah

Editor: Feri Fenoria

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp