Kenali Tanda-Tanda dan Bahaya Glorifikasi Seksisme di Kampus

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret suasana gelar wicara yang diadakan Hope Helps Network untuk memperingati 16HAKTP bersama para narasumber, yaitu: Elni Nainggolan (kanan atas), Prof. Myrtati Dyah Artaria (kiri bawah), dan Eni Puji Utami (kanan bawah). (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Untuk membuka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP), Hope Helps Network mengadakan gelar wicara untuk mendedah tanda-tanda serta bahaya dari glorifikasi seksisme di kehidupan kampus. Digelar pada Jumat malam (26/11/2021), kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber yaitu Perwakilan PurpleCode Eni Puji Utami, Ketua LSGM UNAIR Elni Nainggolan, dan Guru Besar Antropologi UNAIR Prof. Myrtati Dyah Artaria. Premis umum dari glorifikasi seksisme di kampus yang akan dibicarakan dalam perhelatan ini adalah fenomena tren akun “mahasiswa cantik, mahasiswa ganteng.”

Elni mengatakan bahwa akun-akun ini biasanya dimaknai sebagai bentuk afirmasi atas penampilan fisik suatu individu. Apabila fotonya berhasil di-repost oleh admin akun tersebut, berarti ia dapat dikatakan cantik atau ganteng. Ia menambahkan bahwa normalisasi pemaknaan seperti ini akan memunculkan dan menaruh standar-standar kecantikan pada mahasiswa, terutama mahasiswa perempuan, untuk seakan-akan harus dipenuhi.

“Standar-standar inilah yang menjadikan dinamika akun-akun ini begitu seksis dan objektivitas terhadap siapa yang diposting disitu. Jadi inilah bentuk dari glorifikasi seksisme, dan akun-akun ini masih populer sekali. Di UNAIR saja pengikutnya lebih dari 40 ribu di Instagram,” ujar mantan Wakil Presiden BEM FISIP UNAIR itu.

Standar-standar kecantikan ini menurut Prof. Myrta sulit sekali untuk dipenuhi, karena ia amat dinamis mengikuti perkembangan masyarakat, dan tergantung siapa yang mengarahkan agar standar tersebut itu terarusutamakan. Jadi ia sangat prihatin terhadap eksistensi akun-akun tersebut yang mengglorifikasi seksisme.

“Adanya norma sosial yang susah dipenuhi ini, terutama terhadap perempuan, akan menjadikan kondisi psikologis yang tidak baik. Karena seakan-akan, seseorang disuruh untuk memenuhi standar tersebut yang aslinya juga kental akan dimensi patriarki,” tutur antropolog itu.

Eni menjelaskan bahwa eksistensi akun-akun ini juga akan membahayakan data pribadi mahasiswa yang fotonya di-repost, hingga merentankan posibilitas terjadinya kekerasan seksual untuk mereka. Banyak sekali foto yang diunggah dalam akun-akun cantik seperti itu diluar persetujuan pemilik foto. Hal tersebut kemudian mendegradasi privasi pemilik foto, karena sekarang ia rentan untuk disebar kemana-mana fotonya. Eni menambahkan bahwa kemungkinan dampak dari penyebaran foto non-konsensual ini adalah pemilik foto dapat dituntut atau bahkan menjadi korban kekerasan seksual oleh orang-orang tertentu. 

Dalam gelar wicara ini, Elni juga mencatatkan bahwa naik daunnya akun-akun ini akan membawa pada praktik komodifikasi bentuk-bentuk seksisme tersebut. Disini ia menjelaskan bahwa praktik mereka me-repost foto-foto tersebut akan mendatangkan banyak audiens.

“Dari audiens yang puluhan ribu itu, mereka akan mengubahnya akunnya menjadi media promosi acara atau produk. Penggunaan media tersebut tentu berbayar dan pemilik akun pasti akan mengambil keuntungan dari situ. Sementara orang-orang yang diposting disana, objektifikasi, dan terekspos pada ancaman kekerasan seksual tak mendapat keuntungan apa-apa. Jadi seksisme melalui akun-akun seperti ini selain di glorifikasi, juga dikomodifikasi,” tutur Ketua LSGM UNAIR itu.

Perlu dicatatkan bahwa para narasumber juga mengatakan akun-akun ini bukanlah satu-satunya model glorifikasi seksisme di kampus. Mereka mengatakan bahwa perlawanan dari glorifikasi ini serta kemungkinan dampaknya adalah meningkatkan edukasi dan solidaritas. Prof. Myrta mengatakan bahwa korban harus berani dan didukung untuk melakukan callout terhadap tindakan-tindakan seksisme. Eni juga mengatakan bahwa edukasi mengenai pentingnya data pribadi itu juga krusial agar orang-orang dapat tetap merasa aman dan bebas untuk memposting diri mereka, tanpa takut mendapatkan konsekuensi yang tidak diinginkan.

“Perlu pula penyadaran dalam skala besar bahwa eksistensi akun-akun tersebut adalah bentuk glorifikasi seksisme. Kesadaran tersebut takkan tercipta tanpa ada dukungan dari seluruh sivitas akademika kampus. Pemahaman tersebut bisa dimulai bahwa glorifikasi seksisme seharusnya sama saja dengan glorifikasi kekerasan seksual,” tutup Elni.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp