Resipien Transplantasi Ginjal dengan COVID-19 Derajat Berat yang Mendapatkan Lopinavir/Ritonavir, Hidroksiklorokuin, dan Deksametason

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh tagar.id

Novel Coronavirus ditemukan oleh Chinese Center for Disease Control pada akhir tahun 2019. Virus ini menyebabkan COVID-19, yang menimbulkan gejala di paru maupun ekstra-paru, seperti jantung, ginjal, saluran cerna, sistem hematologi dan neurologi. Faktor risiko infeksi COVID-19 terdiri dari diabetes, hipertensi, penyakit ginjal kronis, obesitas, penyakit jantung koroner, dll. Resipien transplantasi ginjal juga dilaporkan memiliki risiko yang lebih tinggi dikarenakan kondisi imunosupresif.

Seorang pasien wanita, usia 70 tahun, datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien merupakan resipien transplantasi ginjal pada tahun 2017. Pasien mengeluhkan batuk, demam, dan penurunan nafsu makan. Pasien mengonsumsi tacrolimus, natrium mikofenolik, dan metilprednisolon sebagai agen imunosupresan. Pasien terkonfirmasi COVID-19 setelah anggota keluarganya terinfeksi sebelumnya. Selain itu, suami pasien juga meninggal akibat COVID-19. Pasien datang dengan tanda vital normal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan CRP dan ferritin. Kadar natrium rendah, dan fungsi ginjal masih normal. Pemeriksaan foto polos dada menunjukkan konsolidasi di kedua lapang paru. Pasien mendapatkan fixed dose combination lopinavir/ritonavir selama 14 hari, hidroksiklorokuin selama lima hari, dan deksametason untuk 10 hari. Pengobatan imunosupresif tetap dilanjutkan, namun karena didapatkan perburukan kondisi pada hari ketiga perawatan, maka obat tersebut dihentikan. Pasien kemudian diintubasi. Pada hari ke-8, didapatkan perbaikan dari foto polos dada dan hasil laboratorium. Pasien juga mendapatkan antibiotik karena didapatkan ko-infeksi bakteri. Di hari ke-16, hasil swab negatif, dan pasien diekstubasi. Selama perawatan, tidak didapatkan penolakan dari ginjal yang ditransplantasi. Setelah 35 hari perawatan, pasien dipulangkan dengan kondisi baik. Agen imunosupresif kembali diberikan saat pasien kontrol di instalasi rawat jalan.

Transplantasi ginjal merupakan tindakan yang meningkatkan risiko infeksi COVID-19 karena pasien akan jatuh dalam kondisi imunosupresif. Gejala COVID-19 yang dialami oleh resipien tidak berbeda dengan yang dialami oleh pasien sehat. Namun, resipien dapat mengeluhkan gejala atipikal seperti keluhan saluran cerna hingga perubahan status mental.

Terapi COVID-19 pada pasien dengan transplantasi organ solid, dalam hal ini ginjal, masih dalam perdebatan. Terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan, seperti usia, tingkat keparahan COVID-19, komorbid lainnya, dan infeksi lain yang menyertai. Resipien dengan COVID-19 derajat ringan-sedang, biasanya disarankan untuk mengurangi dosis imunosupresannya. Hingga saat ini, belum didapatkan rekomendasi yang kuat dalam hal ini, namun sebuah studi menyarankan pemberhentian mofetil mikofenolat (MMF) dan azatioprin selama perawatan di rumah sakit, sementara metilprednisolon dan tacrolimus dapat diteruskan dengan penyesuaian dosis. Sementara itu, resipien yang mengalami COVID-19 derajat berat dan membutuhkan ventilasi mekanik, disarankan untuk menghentikan penghambat kalsineurin sepenuhnya namun tetap memberikan kortikosteroid. Penggunaan steroid dalam manajemen COVID-19 masih diperdebatkan. Studi meta-analisis mengatakan bahwa kortikosteroid mampu menurunkan angka mortalitas dan memperpanjang durasi bebas ventilasi pada pasien dengan sindroma distress pernapasan.

Hingga saat ini, masih belum didapatkan obat definitif untuk COVID-19. Namun, terdapat berbagai pilihan agen yang berpotensi. Lopinavir/ritonavir dilaporkan mampu menurunkan jumlah virus secara signifikan. Uji efikasi dan keamanannya masih terus dilakukan. Beberapa studi telah melaporkan hasil yang beragam. Terdapat studi yang menyampaikan tidak ada perbedaan dalam perbaikan klinis apabila dibandingkan dengan kelompok placebo, sementara studi lain menunjukkan perbaikan klinis setelah pemberia agen tersebut, 12 hari setelah gejala muncul. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik populasi yang berbeda. Selain itu, hidroksikloroquin, agen yang sebelumnya digunakan sebagai anti-malaria, memiliki efek inhibisi terhadap replikasi virus. Hidroksikloroquin dinilai dapat menanggulangi badai sitokin seiring dengan penelitian yang menunjukkan penurunan interleukin-6 (IL-6) setelah pemberian. Namun, setelah melalui berbagai penilaian dan pertimbangan, saat ini WHO tidak lagi merekomendasikan agen ini dikarenakan tidak terbukti menurunkan mortalitas, angka ventilasi mekanik, durasi perawatan, dan menyebabkan efek samping seperti diare, mual, dan muntah.

Sebuah studi menyatakan bahwa resipien transplantasi ginjal yang mengalami COVID-19 juga dapat mengalami gagal ginjal akut. Hal ini disebabkan karena invasi SARS-Cov-2 ke reseptor ACE-2 dan dipeptidyl peptidase pada sel tubulus proksimal. Meskipun begitu, hidrasi yang cukup mampu menanggulangi hal ini.

Setelah mengetahui faktor-faktor yang dapat memperburuk kondisi resipien, penanggulangan COVID-19 khususnya pada resipien transplantasi ginjal harus diperhatikan, terutama dalam penyesuaian dosis obat imunosupresan. Evaluasi kasus demi kasus dan diskusi yang menyeluruh harus dilakukan saat memutuskan untuk menghentikan atau melanjutkan agen tersebut, demi prognosis yang lebih baik. 

Penulis: Prof. Mochammad Thaha, dr., Sp.PD., Ph.D., KGH.FINASIM, FACP, FASN

Link Jurnal: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34669593/

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp