Optimalisasi Produksi Sejak Pemilihan Genetik Indukan Sapi Wagyu

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Farmers Weekly

Permintaan pangan asal hewan mengalami peningkatan yang signifikan pada era pandemi seperti saat ini. Hal ini erat kaitannya dengan kandungan nutrisi yang ada pada produk asal hewan yang kaya akan protein utamanya asam amino essensial yang tidak ditemukan pada bahan pangan lainnya. Tidak terkecuali konsumsi daging sapi. Berdasarkan data dari Meatbank, salah satu pengusaha besar di industri daging di Indonesia, menyatakan bahwa selama pandemi permintaan pasar akan daging meatbank meningkat sebesar 200-300% perharinya, tidak terkecuali permintaan akan daging sapi wagyu. Meski harganya yang selangit, namun pangsa pasar daging wagyu meningkat pada setiap tahunnya. Pemerinatah melihat peluang ini, dan melalui Kementrian Pertanian menciptakan program kerja 1000 desa sapi yang diluncurkan pada akhir tahun lalu.

Pada akhir tahun 2020 lalu, dalam agenda pemerintah melalui Kementrian Pertanian yaitu peluncuran 1000 desa sapi diikuti pula dengan agenda serta, yakni pelepasan semen sapi wagyu ke masyarakat. Saat ini, masyarakat memiliki kemudahan akses dalam memilih semen sapi wagyu untuk disilangkan dengan ternak miliknya dengan harapan daging yang dihasilkan memiliki komposisi marbling yang mirip dengan daging sapi wagyu. Dibalik keuntungan yang menjanjikan terdapat beberapa penyakit bawaan yang ada pada Japanese black cattle, salah satu diantaranya yaitu kematian pedet karena kelemahan (weak calf) yang relatif tinggi pada peternak wagyu Japanese black cattle di Kagoshima. Hasil penelitian kami menunjuakan kelemahan yang mengakibatkan kematian pedet dalam beberapa hari setelah dilahirkan berhubungan dengan kelainan genetik dengan gen pengkode isoleucyl-tRNA synthetase (IARS) pada sapi wagyu. Sehingga sangatlah penting untuk menyeleksi indukan agar bebas dari defek genetik ini.

Penelitian yang kami lakukan adalah melihat presentasi defek gen IARS yang ada pada populasi Japanese black cattle pada tahun 2009 dan 2018 untuk melihat seberapa besar jumlah pembawa atau carrier dari indukan sehat Japanese black cattle. Sampel dari penelitian ini kami ambil selektif dengan sapi indukan betina yang sehat dan bereproduksi lancar dan biasa menghasilkan anakan yang dijual ataupun digemukan. Indikator yang kami gunakan yaitu profil genetic dari gen IARS yang defek pada c.235G>C menggunakan Real-Time PCR, dan analisis komparatif antara genetic dan hasil uji profil metabolik dan data kinerja reproduksi antara sapi yang memiliki defek genetik pembawa (carrier) dan yang normal. Setelah dideteksi pertamakalo oleh lab kami pada tahun 2013, kami gencar melakukan sosialisasi pada peternak untuk benar benar menyeleksi ternak indukannya. Data penelitian kami menunjukkan hasil adanya penurunan yang signifikan pada profil pembawa defek genetic yaitu 6.9% pada tahun 2009 menjadi 1,5% pada tahun 2018. Penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara profil metabolik maupun kinerja reproduksi dari sapi yang memiliki gen pembawa defek weak calf ini yang menjadikan deteksi sangat susah dilaksanakan secara performa. Sehingga perlu silaksanakan  deteksi gen pembawa weak calf syndrome ini secara genetic dengan Real-Time PCR. Sapi-sapi yang membawa defek genetic gen IARS ini meskipun secara penampilan luar sehat, namun anak yang dihasilkan berpotensi mengalami kelemahan dan kematian pasca lahir yang menimbulkan kerugian bagi peternak.

Penulis: Martia Rani Tacharina

Link Artikel: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7972887/

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp