Intervensi Psikososial Berbasis Web untuk Penyintas Pariwisata Seks Anak dan Keluarga Mereka: Tinjauan Ulang di Bidang Konseling

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh mamapapa.id

Secara umum untuk secara efektif melindungi anak-anak dan memberikan layanan dukungan bagi para penyintas kekerasan dibutuhkan partisipasi dari semua lembaga khusus (Goldman et al., 2003). Dengan demikian, untuk memberikan layanan dukungan kepada korban pelecehan seksual, ada kebutuhan mendesak untuk kolaborasi antar institusi (Goldman et al., 2003).

Layanan dukungan yang dibutuhkan oleh anak-anak korban kekerasan seksual dapat secara luas diklasifikasikan ke dalam layanan medis, psikososial, yudisial; dan pelayanan sosial (Muridzo et al., 2018). Oleh karena itu, menuntut partisipasi beberapa profesional termasuk pekerja sosial, dokter, perawat, polisi, hakim, jaksa, konselor; dan psikolog (Muridzo et al., 2018).

Dalam hal terkait ini diperlukan pembentukan tim profesional multidisiplin termasuk pekerja sosial, petugas kesehatan, konselor, psikolog, polisi, pengacara, dll. Mereka perlu ditempatkan di bawah satu atap terutama di rumah sakit pendidikan universitas akan ideal (Chomba et al., 2010).

Mengingat hal di atas konseling merupakan hal mendasar dalam remobilisasi energi korban dan keluarga untuk keberhasilan pemulihan dan reintegrasi. Untuk mempercepat pemulihan dan reintegrasi para penyintas dan lebih lanjut mendukung keluarga mereka terutama orang tua, konseling dan pemberian nasihat profesional yang tidak memihak sangat diperlukan (Whittle et al., 2013). Untuk membantu korban yang masih anak-anak agar pulih dan berintegrasi kembali, pekerja sosial dan konselor tidak hanya bekerja dengan orang tua, tetapi juga menawarkan dukungan psikososial yang dibutuhkan melalui konseling karena statusnya memiliki hubungan langsung dengan kesejahteraan para korban (Hibah, 2006). Dalam mengurangi dampak negatif pelecehan seksual, penyintas membutuhkan layanan konseling yang dapat memberikan mereka lingkungan yang aman dan terjamin, dorongan, kesempatan untuk pemberdayaan, keterampilan untuk membangun dan memelihara hubungan yang mendukung jangka panjang dan selanjutnya mampu mengatasi masalah psikososial yang lebih umum yang dihadapi (Hall & Hall, 2011).

Mengingat banyaknya permintaan akan layanan konseling karena adanya pandemi, terdapat kebutuhan mendesak untuk menggunakan cara-cara robot dalam menyelesaikan kebutuhan ini terutama bagi anak-anak yang selamat dari pelecehan seksual dan keluarga mereka. Dengan demikian, metode penyampaian layanan konseling seperti layanan lainnya perlu inovatif. Teknologi Komunikasi Informasi (TKI) telah mulai memberikan peluang seperti itu bahkan dalam penyampaian konseling melalui intervensi psikososial berbasis web –misalnya konseling daring. Konseling daring dapat dipertukarkan cyber counselling, internet therapy, e-counselling, e-therapy, e-mail therapy, internet counselling dan web-counselling (Paterson et al., 2019).

Temuan Utama

Dalam tinjauan literatur sistematis kami, di mana hanya artikel peer-review yang diterbitkan setelah tahun 2000 yang ditinjau secara kritis, kecuali berupa ekstrak yang dianggap sebagai bahan mendasar untuk penelitian ini. Secara ringkas, potensi konseling web adalah termasuk, tetapi tidak terbatas pada, adanya akses tak terbatas dan peningkatan dalam mencari perilaku, keterjangkauan, dan kenyamanan penggunanya. Selain itu dimungkinkan adanya tekanan yang menurun, ketersediaan catatan permanen, anonimitas, kemandirian dan otonomi, serta pemberdayaan. Di sisi lain juga dimungkinkan adanya penghapusan hambatan geografis, kurang merasa malu, kebebasan berekspresi, kerahasiaan dan privasi, peningkatan efisiensi dan efektivitas, akses sepanjang waktu ke beberapa terapis, sumber daya tanpa biaya transportasi dan kerumitan, dan sesi terapi yang digerakkan oleh klien.

Tantangannya adalah hilangnya faktor manusia dan hubungan virtual yang lengkap, konektivitas internet, isyarat non-verbal dan verbal yang kurang, salah tafsir dan kesalahpahaman, akses terbatas ke komputer dan keterbatasan keterampilan komputasi. Selain itu juga dimungkinkan terjadinya komplikasi dan kegagalan teknologi, bocornya keamanan dan kerahasiaan. Aspek kesulitan yang lain misalnya adanya penyusunan pesan yang terlalu ringkas dan sederhana, verifikasi kompetensi terapis, serta perbedaan budaya dan waktu. Beberapa kemungkinan masalah yang lain adalah adanya identifikasi klien, keterlambatan dalam pengiriman dukungan cepat dan darurat, peniruan identitas dan memberikan informasi palsu, perlunya pelatihan ulang staf, mempekerjakan yang baru dan membeli peralatan baru.

Simpulan

Dalam menangani penyintas pariwisata sex anak (child sex tourism) di masa pandemi, perlu pendekatan baru yang lebih mengedepankan aksesibilitas untuk penyintas terhadap konseling. Hal ini dapat diupayakan dengan menggunakan sarana yang tidak membutuhkan tatap muka.

Penulis: Yahya Muhammed Bah & Myrtati Dyah Artaria

Link article: http://ppsfip.ppj.unp.ac.id/index.php/ijrice/article/view/406/0

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp