Gubes FISIP: Perumusan Kebijakan Pro-Rakyat Harus Berdasar Data Objektif

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., MSi. (tengah) saat menyampaikan materi di seminar nasional Airlangga Policy Brief Competition pada Senin (15/11/21) melalui Zoom meeting.

UNAIR NEWS – Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., MSi. menjadi pemateri dalam seminar nasional Airlangga Policy Brief Competition. Dalam seminar yang diadakan oleh BEM UNAIR itu ia menyampaikan bahwa untuk menghindari sebuah kebijakan terkontaminasi kepentingan politik harus ada penelitian dan data-data yang objektif.

Prof. Bagong menekankan bahwa sebuah kebijakan tidak selalu terlepas dari kepentingan politik. Politisasi kebijakan sangat mungkin terjadi karena sebuah kebijakan muncul dari proses negosiasi dengan berbagai kepentingan. Acuan yang dapat dipakai untuk menghindari sebuah kebijakan terkontaminasi politik harus ada penelitian dan data objektif.

“Misalnya politik dapil, istilah yang banyak muncul ketika kebijakan itu digodok di legislatif dan legislatif kadang juga punya kepentingan yang kadang berbeda dengan eksekutif. Untuk menjembatani agar tidak terjadi tarik ulur itu ada penelitian, data objektif, itu adalah acuan yang bisa dipakai atau mutlak dipakai untuk menghindari sebuah kebijakan itu terkontaminasi kepentingan politik,” jelasnya.

Selanjutnya, Prof. Bagong mengatakan bahwa untuk menilai atau mengklaim sebuah kebijakan itu pro-rakyat atau tidak, maka harus mengacu pada pertanyaan yang sederhana yaitu siapa yang paling diuntungkan. Terdapat cara untuk melihat kebijakan tersebut pro-rakyat atau tidak, atau kebijakan itu menguntungkan siapa tergantung dari kacamata siapa kita melihat.

“Sebagai contoh, Surabaya terkenal dengan green and green, taman itu membuat Surabaya sangat popular. Tapi apakah itu juga dirasakan oleh PKL-PKL yang dulu berdagang di taman tersebut? Apa betul mereka diuntungkan dari program green and green. Kalau kita kelas menengah melihat kota makin hijau makin rapi kita senang, melihat troroar makin lebar kita juga senang. Tapi kalau PKL ditanya Buat apa trotoar lebar kalau kita tidak boleh berdagang di sana?,” jelasnya.

Kemudian, Prof. Bagong menjelaskan bahwa program yang direncanakan hanya intuitif dan perencanaan pembangunan yang hanya bertindak sebagai turis pembagunan tidak akan pernah merumuskan program yang betul-betul berbasis kebutuhan masyarakat lokal. Kebijakan pro-rakyat memang dibutuhkan penjelasan teoritik tapi juga perlu uji coba dan pengalaman, serta kesediaan untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak.

“Untuk memastikan sebuah program itu pro-rakyat atau tidak mungkin dibutuhkan penjelasan teoritik tapi juga dibutuhkan proses uji coba dan pengalaman, kesediaan untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak supaya program yang dirumuskan itu bukan merepresentasikan kepentingan kelompok-kelompok tertentu tapi betul-betul berpihak dan pro kepada nasib rakyat. Sumber masalahnya adalah kalau data objektifnya menjadi pegangan maka kemungkinan terkontaminasi pada kepentingan politik itu akan bisa dikurangi,” jelasnya. (*)

Penulis: Wiji Astutik

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp