Kuliah Tamu Akuakultur UNAIR Banyuwangi Ulas Potensi dan Teknik Budidaya Ikan Sidat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Angga Kurniawan saat menyampaikan paparan. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Ikan Sidat (Anguilla spp.) merupakan salah satu ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Ketersediaan benih sidat yang melimpah di Indonesia menjadikan sidat sebagai komoditas potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu, Program Studi Akuakultur PSDKU UNAIR di Banyuwangi Jum’at (11/11) lalu mengadakan kuliah tamu dengan tema “Teknologi, Manajemen dan Prospek Budidaya Sidat”.

Angga Kurniawan selaku General Manager PT. Laju Banyu Semesta (sidat labas) berkesempatan untuk memberikan materi dalam kuliah secara virtual tersebut. Mengawali pemaparannya ia menjelaskan bahwa potensi ikan sidat yang tersedia dalam bentuk glass eel sangat melimpah di Indonesia namun belum banyak yang bisa memanfaatkan. Hal itu berkaitan dengan keunikan dari ikan sidat yang memiliki sifat beruaya ketika melakukan pemijahan. 

“Oleh karena itu, sejauh ini budidaya ikan sidat hanya sebatas proses pembesaran benih tangkapan saja karena belum bisa dipijahkan secara buatan,” ujarnya.

Ia melanjutkan, meski ketersediaan benih sidat di alam Indonesia melimpah, namun karena sulitnya proses domestikasi dari benih sidat ini membuat budidaya sidat masih jarang dilakukan. Kegagalan seperti pertumbuhan yang lambat hingga kematian ikan membuat produktivitas petani sidat tidak maksimal.

“Karena memang sulit mendomestikasi ikan yang sudah terbiasa hidup di alam terutama dalam hal pakan, kebanyakan petani sidat terkendala dalam membiasakan ikan sidat yang sudah terlanjur terbiasa dengan makanan di alam menjadi mau memakan pakan buatan (pelet),” ungkapnya.

Angga –sapaan akrabnya- menjelaskan, jika ikan sudah mau memakan pakan buatan maka hal selanjutnya yang perlu disiapkan adalah manajemen pakan dan kualitas air. Ikan sidat memerlukan pakan dengan kandungan protein yang tinggi (40-60%). Oleh karena itu, pemberian pakan harus terukur agar tidak meningkatkan biaya produksi dan merusak kualitas air.

“Pakan sidat berbentuk pasta yang diberikan sebanyak 2-5% dari biomass dalam satu hari, untuk manajemen air kita menerapkan sistem RAS (Recirculating aquaculture system) menggunakan kolam berdiameter 1,25 – 1,5 m yang dilengkapi silo tank untuk pembuangan kotoran,” paparnya.

“Selain itu, sambungnya, padat tebar juga harus diperhatikan. Umumnya dengan kolam seukuran 1,25 – 1,5 m bisa menampung glass eel 15 kg atau elver 100 kg,” tandasnya.

Angga juga memberikan tips ketika mendomestikasi ikan sidat lebih baik ketika dalam stadia Glass eel. Hal tersebut dikarenakan stadia glass eel cenderung lebih mudah diadaptasikan terhadap pakan buatan. Kurangnya produktivitas petani sidat kebanyakan karena mereka cenderung menangkap stadia ikan yang mendekati ukuran jual untuk dibudidayakan guna menghemat waktu budidaya.

“Hal ini salah, terusnya, karena semakin besar stadia maka akan sulit mendomestikasikannya, dan yang sering terjadi adalah ikan mati atau tidak tumbuh karena stres dan tidak mau makan,” imbuh Angga.

Mengakhiri pemaparannya ia berharap, akademisi-akademisi perikanan mampu melahirkan sebuah inovasi untuk membuat ikan sidat bisa memijah secara buatan. Ia juga berpesan terhadap mahasiswa para calon SDM perikanan Indonesia untuk bisa melirik prospek ikan sidat ini mengingat potensinya yang belum termanfaatkan. 

“Yang tentunya dengan mempertimbangkan kelestarian alam untuk menjaga keberlanjutannya, jangan sampai kita menjadi seperti Jepang yang produktivitas sidatnya menurun karena over- eksploitasi dan tidak memerhatikan lingkungan,” pungkasnya. (*)

Penulis: Ivan Syahrial Abidin

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp