Ketersediaan Fasilitas di Apotek untuk Menunjang Layanan Kefarmasian Bernilai Tambah

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Humas Unair

Lebih dari 85% masyarakat Indonesia pernah mengunjungi apotek. Faktanya, apotek seringkali menjadi tujuan masyarakat untuk mendapatkan obat khususnya dalam kasus pengobatan sendiri atau swamedikasi. Bahkan, tren saat ini apotek tidak hanya dikunjungi ketika sakit saja. Masyarakat kerapkali mengunjungi apotek untuk mendapatkan suplemen makanan, vitamin dan perbekalan kesehatan untuk menjaga tubuh tetap sehat dan bugar.

Kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi selama dua tahun terakhir di Indonesia memicu terjadinya perubahan layanan kefarmasian di apotek. Interaksi langsung yang sebelumnya mudah dilakukan antara apoteker dengan pasien, saat ini menjadi terbatas untuk mengurangi risiko penyebaran penyakit. Praktek layanan kefarmasian jarak jauh melalui format telefarmasi juga menjadi opsi yang diambil beberapa apotek. Layanan penyerahan obat melalui kurir maupun jasa antar merupakan suatu kelaziman. Pertanyaan yang muncul kemudian apakah apotek memiliki fasilitas yang cukup untuk melakukan pelayanan tersebut?

Sebelum pandemi terjadi, konsep tentang layanan kefarmasian bernilai tambah atau Value-added Pharmacy Services (VAPS) kerap bergaung termasuk di sektor farmasi tanah air. VAPS menitikberatkan pada layanan yang berpusat kepada pasien (patient-oriented care) dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk mempercepat pelayanan, meningkatkan kepuasan pasien, memudahkan manajemen pengelolaan dan menjadikan pasien lebih melek kesehatan (health-literate) agar mampu mencapai luaran terapi yang diinginkan. Sebagai contoh, penggunaan layanan drive-thru, pengingat untuk menebus ulang obat, dan pelayanan tele-konsultasi melalui perangkat video call atau telepon. Meskipun demikian, konsep ini belum dapat diterapkan secara maksimal karena terbentur fasilitas dan operasional apotek yang memang belum menuntut kondisi tersebut.

Peneliti dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang dipimpin oleh Andi Hermansyah kemudian melakukan studi untuk mengevaluasi ketersediaan fasilitas di apotek dalam memberikan VAPS. Penelitian ini dilakukan beberapa bulan sebelum pandemi dimulai dengan responden yaitu 50 apotek di Surabaya. Peneliti mengajukan pertanyaan dalam format kuesioner khususnya persepsi tentang VAPS, ketersediaan sarana dan fasilitas untuk menunjang VAPS dan kesiapan apoteker dan apotek untuk melakukan investasi sarana yang mendukung layanan VAPS.

Hasil penelitian yang dimuat di Pharmacy Education Journal menunjukkan bahwa responden menyadari betul adanya tuntutan untuk menyediakan layanan VAPS. Sebagian besar responden juga menyakini bahwa layanan VAPS mutlak dilakukan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Meski sebagian besar apotek memiliki sarana dan fasilitas untuk mendukung layanan VAPS, terdapat fasilitas penting yang justru belum dimiliki kebanyakan apotek. Sebagai contoh, sekitar 60% apotek responden tidak memiliki website padahal keberadaan website sangat dibutuhkan untuk membantu pelayanan VAPS. Peneliti juga menemukan fakta bahwa hanya 40% responden yang siap berinvestasi untuk menambah sarana dan fasilitas demi mewujudkan layanan VAPS. Responden yang memilih tidak berinvestasi mengatakan bahwa ruangan apotek sudah penuh dan keterbatasan tenaga untuk mampu melakukan VAPS dengan optimal.

Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat gap dalam beberapa aspek fasilitas yang perlu disiapkan dengan persepsi kesiapan apoteker dan apotek. Untuk itu, peneliti menyarankan untuk perlunya menata ulang layout apotek dan memperhatikan alokasi sumber daya manusia.

Penulis: Andi Hermansyah

Hasil penelitian dapat diakses di:

https://pharmacyeducation.fip.org/pharmacyeducation/article/view/1401

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp