Perempuan dalam Masyarakat Adat Tana Towa Kajang Sulawesi Selatan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Pinisi co id

Dalam banyak suku di Indonesia, persoalan adat-istiadat dalam masyarakat Tana Towa umumnya menjadi domain laki-laki. Dunia luar atau publik menjadi domain laki-laki, sedangkan dunia domestik atau urusan rumah tangga menjadi urusan perempuan. Dengan kata lain, terdapat banyak ritual dalam adat istiadat masyarakat yang dipimpin oleh laki-laki. Namun demikian, terdapat beberapa aspek yang justru menjadi tanggung jawab seorang perempuan, tidak terkecuali dengan masyarakat adat Tana Towa. Dalam masyarakat adat Tana Towa, posisi dan peran seorang perempuan sangat dihargai. Penghargaan itu diberikan karena perempuan memiliki pekerjaan dan tugas yang berat, seperti yang disampaikan oleh pemimpin masyarakat adat Tana Towa (Ammatowa) berikut ini.

“Bahinea punna nakulle mi, attannung, menjahi’ na appallu kulle mi ri pa’bunting, na saba punna kaeki bajunna buru’ne nu nujai’kangi, injo baju kae a di pake ajjama, nu balloa dipake punna rie’tamu, punna rie tamu kau bahinea abbajuko kopi, teng, untuk melayani tamu. Sessa ki bahine a kodong, liba’lohe jamanna” (Nurfatiha, 2018:45).

[Perempuan itu harus pandai menjahit, menenun, dan memasak. Kalau sudah dapat melakukan salah satunya, barulah perempuan itu bisa dinikahkan (nikka). Sebenarnya perempuan memiliki tugas yang berat, karena pekerjaannya lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki]

Hal senada juga dikemukakan oleh juru bicara Amma Towa yakni Galla’ Puto. Galla mengatakan, peran perempuan itu amat penting dalam masyarakat adat Tana Towa Kajang karena pekerjaan yang harus dilakukannya lebih banyak dibanding laki-laki. Mengingat pekerjaannya yang banyak (lohe jama-jamangna) maka seorang perempuan itu sessa ki bahinea (perempuan memiliki tanggung jawab yang besar), perempuan ikut bekerja di kebun lamung ba’do, lopu’ dan harus menyiapkan bekal (bokong) atau muppulu’ bue. Jika seorang  laki-laki allamung pare (menanam padi) maka perempuan a’rembu, pulang dari kebun atau sawah maka perempuan pergi lagi ke sumur (a’lambara ri buhung), dan selain itu harus memasak atau appallu (Nurfatiha, 2018:45-46).

Dari penuturan dua pemimpin adat tersebut di atas (Ammatowa dan Galla Puto), dapat disimpulkan bahwa tugas dan tanggung jawab seorang perempuan Tana Towa adalah sangat berat, karena dia harus memerankan tugas-tugas domestik dan sekaligus tugas publik. Tugas domestik berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu yang harus mengurus rumah tangga, mengurus suami dan anak, sedangkan tugas publik berhubungan dengan perannya membantu suaminya mencari nafkah.

Dalam struktur adat-istiadat yang didominasi oleh laki-laki, perempuan Tana Towa tetap memiliki posisi yang penting, strategis, dan dihormati. Dalam struktur adat-istiadat masyarakat Tana Towa, terdapat satu peran penting yang dimainkan oleh seorang perempuan yang disebut dengan Angronta. Seorang angronta mempunyai tugas dan tanggung jawab menyiapkan  semua kebutuhan upacara atau ritual adat, memfasilitasi pemilihan Ammatowa dan melantiknya. Angronta  juga menjadi pejabat sementara  pada saat Ammatowa meninggal hingga terpilihnya seorang pemimpin adat yang baru. Selain itu, anrongta atau niraja bahine bertugasmemimpin dan membina perempuan di Tana Towa, mengajarkan anak angngasi (sopan santun), menguasai seluk beluk acara adat, serta dapat memperkirakan jumlah kebutuhan acara adat hingga selesai.

Sementara itu, dalam bidang ekonomi, perempuan Tana Towa Kajang memiliki peran penting dalam membantu ekonomi keluarga. Kegiatan tersebut meliputi menenun, berjualan di pasar, dan bertani. Menenun merupakan aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang perempuan Tana Towa. Dengan kata lain, menenun adalah keterampilan wajib bagi seorang perempuan di kawasan ini. Betapa pentingnya menguasai keterampilan ini dapat dilihat dari syarat seorang perempuan boleh menikah jika dia pandai menenun.

Perempuan Tana Towa Kajang bukanlah perempuan yang tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Hal ini misalnya mereka tunjukkan dengan tidak alergi terhadap pendidikan. Hal ini senada dengan sikap Ammatowa dan adat-istiadat yang juga menghormati orang pintar dan memiliki kecakapan (macca). Hanya saja, antara pendidikan dan adat-istiadat serta pandangan bahwa anak adalah aset keluarga masih menjadi kendala serius dalam komunitas ini. Dengan kata lain, persoalan pendidikan bagi perempuan Tana Towa masih perlu upaya serius dan sungguh-sungguh terutama dari pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat agar semua anak perempuan dapat menikmati bangku sekolah.

Penulis: Sarkawi B. Husain, Lina Puryanti, Adi Setijowati

Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana peran dan posisi penting yang dimiliki oleh perempuan di Tana Towa dapat dibaca dalam: https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/38335

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp