Sarung Tangan sebagai Alat Pelindung Diri yang Efektif untuk Pembatik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Kompass

Batik dicanangkan menjadi warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009. Pada tahun 2014, Yogyakarta yang merupakan salah satu kota di Indonesia dinobatkan sebagai kota batik dunia oleh World Craft Council (WCC) karena memenuhi kriteria nilai sejarah, budaya, upaya pelestarian dan alih generasi, nilai ekonomi, kepedulian lingkungan, reputasi internasional serta komitmen berkesinambungan. Selain di Yogyakarta, Madura juga merupakan daerah yang terkenal memiliki sentra batik rumahan cukup banyak, salah satunya di Kabupaten Bangkalan, tepatnya di Kecamatan Tanjung Bumi, Desa Paseseh. Batik di daerah ini memiliki ciri khas batik pesisir yang menggunakan warna tajam dan mencolok seperti warna merah, hijau dan biru. Untuk menghasilkan warna-warna pada batik tentunya digunakan bahan pewarna yang sebagian besar adalah bahan pewarna sintetik.

Penggunaan bahan pewarna sintetik meningkatkan paparan polutan berbahaya seperti logam berat, padatan tersuspensi, atau zat organik. Paparan tersebut dapat masuk dalam tubuh melalui kulit dan saluran pernafasan. Paparan ini dapat menyebabkan terjadinya dermatitis kontak. Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) adalah penyakit akibat kerja (PAK) terbanyak pada negara berkembang dengan prevalensi 70-90%. Data di Eropa menunjukkan insidensi penyakit ini sebesar 0,5 – 1 per 1000 pekerja. Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan prevalensi DKAK yang cukup tinggi, yaitu sebesar 10,36%. Hal ini menunjukkan pentingnya penggunaan alat pelindung diri (APD) bagi para pembatik. Salah satu APD yang paling penting pada industri batik adalah sarung tangan. Penggunaan sarung tangan diketahui dapat memperbaiki hidrasi dan derajat keasaman (pH) kulit tangan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas dari penggunaan sarung tangan sebagai pelindung kulit dari iritasi pada para pembatik. Penelitian ini melibatkan 16 orang pembatik berusia 15-50 tahun yang bekerja dalam proses pewarnaan batik. Terdapat 2 jenis sarung tangan yang digunakan dalam penelitan ini, jenis pertama adalah sarung tangan pribadi milik pembatik yang terbuat dari PVC, dan jenis kedua adalah sarung tangan uji yang terbuat dari neoprene. Pada 2 minggu pertama, para pembatik diminta untuk menggunakan sarung tangan PVC di tangan kiri dan sarung tangan neoprene di tangan kanan. Sarung tangan digunakan selama 8 jam per hari, dan diganti setiap 3 hari. Pada 2 minggu berikutnya, para pembatik diminta untuk tidak menggunakan sarung tangan. Kemudian pada 2 minggu terakhir, para pembatik diminta menggunakan sarung tangan neoprene di tangan kiri dan sarung tangan PVC di tangan kanan. Evaluasi dilakukan pada awal dan akhir dari setiap perlakuan. Hal-hal yang dievaluasi adalah Transepidermal Water Loss (TEWL), tingkat hidrasi kulit, dan pH kulit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sarung tangan, baik berbahan PVC maupun neoprene dapat memberikan efek protektif pada kulit tangan dengan cara menurunkan TEWL. Namun di sisi lain, penggunaan sarung tangan juga dapat meningkatkan risiko dermatitis kontak jika tidak digunakan dengan tepat akibat adanya peningkatan pH dan penurunan hidrasi kulit.

Penulis: Prof.Dr.Cita Rosita Sigit Prakoeswa,dr.,Sp.KK(K)

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://medicopublication.com/index.php/ijfmt/article/view/16832/14927

The Gloves as Effective Personal Protective Equipment (PPE) of Indonesian Batik Workers

Cita Rosita Sigit Prakoeswa, Damayanti, Sylvia Anggraeni, Menul Ayu Umborowati, Sri Awalia Febriana

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp